INTERVENSI NEGARA SEBAGAI INSTITUSI YANG BERTANGGUNG JAWAB TERHADAP KELANCARAN BISNIS


BAB I
INTERVENSI NEGARA SEBAGAI INSTITUSI YANG BERTANGGUNG JAWAB TERHADAP KELANCARAN BISNIS[1]
A.    Teori Intervensi Negara Berkembang Dalam Siatem Ekonomi Islam
Teori intervensi negara berkembang dalam sistem ekonomi islam tidak dapat disamakan dalam bentuk campur tangan minimal kapitasilme laissez fair. Demikian juga intervensi tidak dilakukan dalam bentuk kolektivisme dan regimentasi yang menindas kebebasan dan melemahkan motivasi dan usaha individu sebagaimana dalam sosialisme.[2] Peran utama negara, dengan demikian adaalah dalam mengupayakan rektruturisasi hak-hak properti pribadi serta dalam menjamin standar hidup minimum seluruh individu dalam masyarakat. Menurut sebagian ekonomi islam, aksiologi intervensi pemerintah dalam kegiatan perekonomian adalah didasarkan pada misi amar makruf. Baik dalam bentuk pengawasan maupun pengaaturan atau pelaksanaan beberapa macam kegiatan ekonomi yang tidak dapat dilaksanakan dengan baik oleh individu.meski demikian harus diakui bahwa pada masa-masa awal islam intevensi negara ini dinilai masih sangat minim. Hal ini dapat dipahami mengingat kondisi perekonomian kaum muslim pada masa itu yang masih sangat komplek.
 Kesejahteraan ummat manusia ini dapat dicapai bila seluruh sistem hukum dan ekonomi, termasuk fiskal, dilakukan, demi mewujudkan amanat rakyat dan dengan mempertimbangkan segi keadilan. Kebijakan pemerintah diformulasikan dalam berbagai bidang isu yang bermuara pada kesejahteraan terkait dengan nilai-nilai ekonomi, sosial, politik dan budaya. Bentuk dari suatu kebijakan sangat ditentukan oleh pola keterlibatan pelaku kebijakan (policy stakeholders), yaitu para individu atau kelompok individu yang mempunyai akses dalam perumusan kebijakan.[3] Para pelaku kebijakan (kelompok warga negara, perserikatan buruh, partai politik, agen-agen pemerintah, pemimpin terpilih, para analis kebijakan dan lain-lain) memiliki persepsi yang berbeda terhadap informasi yang sama mengenai lingkungan kebijakan. Lingkungan kebijakan (policy environment) merupakan suatu konteks khusus di mana kejadian-kejadian di sekeliling isu kebijakan terjadi. Dengan demikian, lingkungan ini mempengaruhi dan dipengaruhi oleh pembuat kebijakan dan kebijakan publik. Dalam hubungan yang bersifat dialektis tersebut, dimensi obyektif dan subyektif dari pembuatan kebijakan menjadi tidak dapat dipisahkan di dalam prakteknya. Sistem kebijakan adalah produk subyektif manusia yang terbentuk melalui pilihan-pilihan sadar oleh para pelaku kebijakan. Sistem kebijakan adalah realitas obyektif yang dimanifestasikan ke dalam tindakan-tindakan yang teramati berikut konsekuensinya. Para pelaku kebijakan merupakan produk dari sistem kebijakan.
Dalam ekonomi Islam tiga komponen itu baik pelaku kebijakan, lingkungan kebijakan maupun kebijakan publik itu sendiri harus selalu berpedoman pada syariah. Politik sebagai publik bermakna bahwa output dari politik selalu merupakan urusan bersama. Ini berbeda dengan ekonomi yang selama ini berkonotasi individual. Hipotesa yang digunakan dalam hal ini adalah bahwa ekonomi dan politik sejak awal memiliki asumsi yang berbeda, sehingga menggabungkan analisis ekonomi dan politik secara bersamaan (dalam ekonomi politik konvensional) merupakan upaya yang tidak akan berhasil dengan baik. Berbeda dengan pendekatan tersebut, politik ekonomi dalam Islam adalah jaminan atas pemenuhan seluruh kebutuhan pokok bagi setiap individu dan juga pemenuhan berbagai kebutuhan sekunder maupun tersier sesuai kadar kemampuan individu dalam masyarakat tertentu dengan kekhasan di dalamnya. Penekanan pada kemakmuran individu dalam definisi tersebut menunjukkan bahwa titik berat sasaran pemecahan permasalahan ekonomi Islam adalah terletak pada permasalahan individual bukan komunal pada tingkat agregat (nasional).[4] Kebijakan pertumbuhan ekonomi dalam praktiknya dinilai tidak berhasil meningkatkan taraf hidup dan kemakmuran bagi individu secara merata. Politik ekonomi konvensional ini menitikberatkan pada pemenuhan kebutuhan-kebutuhan manusia secara kolektif yang dicerminkan dengan pertumbuhan ekonomi suatu negara. Akibatnya pemecahan permasalahan ekonomi terfokus pada barang dan jasa yang dapat dihasilkan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi, bukan pada individu manusianya. Sehingga pembahasan ekonomi yang krusial untuk dipecahkan terfokus pada masalah peningkatan produksi. Secara umum, asas-asas kebijakan ekonomi dan politik Islam terdiri dari empat hal, yaitu:
1.      Setiap warga negara dipandang memiliki hak yang sama dalam hal pemenuhan kebutuhan.
2.      Pemenuhan kebutuhan-kebutuhan pokok dilakukan secara menyeluruh (lengkap).
3.      Setiap individu berhak memperoleh pekerjaan dengan tujuan untuk memperoleh kekayaan dan meningkatkan kemakmuran hidupnya.
4.      Ketentuan-ketentuan syariat harus diterapkan dalam seluruh interaksi yang melibatkan individu-individu di dalam masyarakat.
Pada poin-poin di atas ekonomi politik kapitalisme berbeda dengan politik ekonomi Islam. Politik ekonomi Islam merupakan kebijakan negara untuk menjamin pemenuhan seluruh kebutuhan dasar rakyat, orang-perorang, secara menyeluruh, serta menjamin kesempatan untuk memenuhi kebutuhan sekunder mereka sesuai dengan kadar yang mampu diraih sebagai manusia yang hidup dalam suatu masyarakat yang khas, dengan corak dan gaya hidup yang unik.[5] Definisi tersebut menunjukkan bahwa kebijakan negara lebih fokus pada kesejahteraan orang-perorang, bukan sekadar rerata secara umum, yakni kesejahteraan negara secara agregat (makro) sebagaimana tertulis dalam statistik pendapatan nasional, namun kenyataannya masih banyak kasus kelaparan dan kemiskinan. Di dalam politik ekonomi Islam ada jaminan bagi setiap individu yang hidup di dalam daulah islamiyah untuk memenuhi kebutuhan primernya. Negara mendorong dan mengkondisikan agar setiap laki-laki yang mempunyai kemampuan untuk berusaha dan bekerja meraih rezeki. Dengan kata lain, mereka harus memiliki kemampuan untuk mengakses pasar. Negara menerapkan syariah untuk mengatur seluruh interaksi di tengah-tengah masyarakat serta menjamin perwujudan nilai-nilai keutamaan dan keluhuran dalam setiap interaksi, termasuk di dalamnya interaksi ekonomi. Dalam sistem ekonomi-politik Islam, zakat merupakan salah satu instrumen pengaman sosial (social security). Ia merupakan bagian dari sebuah sistem yang terintegrasi dari program jaminan akses pasar bagi golongan miskin.
 Fungsi zakat tersebut tidak akan optimal tanpa sentuhan negara. Itulah sebabnya dalam berbagai literatur tentang keuangan publik klasik, zakat dikategorikan sebagai salah satu sumber penting pemasukan negara sebagai instrumen pengeluaran publik.[6] Tugas utama menjamin kesejahteraan individual terkait dengan masalah sumber daya alam dan kekayaan negara adalah mengembangkan berbagai kebijakan yang berorientasi pada kesejahteraan umum. Islam berupaya menggabungkan inisiatif pribadi dengan intervensi pemerintah agar dapat mencapai “keseimbangan sosial”. Peranan utama negara, dengan demikian adalah dalam mengupayakan restrukturisasi hak-hak properti pribadi serta dalam menjamin standar hidup minimum terhadap seluruh individu dalam masyarakat.
B.     Tanggung Jawab Negara Terhadap Ekonomi Islam Dalam Pandangan Muhammad Baqir As-Sadr.
 Dalam pandangannya Muhammad Baqir As-Sadr mengembangkan tanggung jawab negara ini menjadi tiga bagian utama yang meliputi: jaminan sosial, keseimbangan sosial dan prinsip intervensi negara.[7] Tiga hal tersebut menurut Muhammad Baqir As-Sadr merupakan bagian kewajiban negara terhadap masyarakat berkaitan dengan perekonomian. Sedangkan menurut beberapa pengamat ekonomi Islam bahwa Muhammad Baqir As-Sadr merupakan mazhab pertama dalam ekonomi Islam yang berpendapat bahwa semua teori ekonomi konvensional ditolak dan harus dibuang. Dan sebagai penggantinya adalah menyusun teori-teori ekonomi yang langsung digali dari al-Qur’an dan al-Sunah. Setiap langkah yang di tempuh seseorang dalam beberapa arah mesti mengandung tujuan. Demikian pula halnya dengan setiap gerakan yang terjadi dalam suatu peradaban sudah tentu memiliki tujuan yang ingin di capai. Setiap langkah yang bermanfaat dan setiap gerakan yang bertujuan, pada dasarnya mencerminkan adanya kekuatan penggerak dalam dirinya. Dengan kata lain, tujuan merupakan pendorong utama bagi diaktualisasikannya gerakan tersebut. Kendati tujuan, sebagai contoh pertama, berperan sebagai energi yang menggerakkan, namun segera setelah sasaran diraih, ia menyempurnakan proses gerak tersebut sekaligus mengakhirinya.
Problem dunia yang selalu menjadi perhatian utama manusia modern adalah pertanyaan tentang sistem apa yang paling sesuai untuk membangun kehidupan sosial umat manusia. Itulah pertanyaan paling pelik dan sangat sensitif yang selalu menghadang manusia sejak manusia memulai kehidupan sosialnya, diperlukan suatu sistem hukum untuk mengatur hubungan-hubungan manusia. Semakin konsisten sistem ini dengan watak dan kepentingan-kepentingan manusia, semakin ia menjamin kemakmuran dan solidaritas masyarakat manusia.
Intervensi negara maju kepada negara berkembang terjadi melalui dua cara ini, dan tidak dapat dianggap sebagai pelanggaran hukum internasional.[8] Hal ini karena keterlibatan suatu negara dalam perjanjian internasional berarti negara itu dengan sengaja membebankan dirinya untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban yang termaktub dalam perjanjian internasional. Salah satu kewajiban itu adalah mentransformasikan ketentuan yang ada dalam perjanjian internasional ke dalam hukum nasionalnya. Konsekuensinya, negara maju memiliki kekuatan untuk mendesak negara berkembang agar membentuk kebijakan dan peraturan perundang-undangan yang menguntungkan mereka, apalagi jika terdapat faktor ketergantungan. Ini pun tidak dapat dianggap sebagai suatu pelanggaran hukum internasional walaupun tindakan memenuhi tuntutan dilakukan atas dasar ketidakberdayaan. Sebagai contoh, Indonesia tidak banyak berkutik ketika Dana Moneter Internasional (IMF) mensyaratkan Indonesia untuk mengamandemen UU Kepailitan dan membentuk UU Anti Monopoli.
 Demikian pula Bank Pembangunan Asia (Asian Development Bank/ADB) yang bersedia memberi hibah (grant) ke Indonesia bila pemerintah mau membuat UU Anti Pencucian Uang. Intervensi dengan memanfaatkan perjanjian internasional dimulai saat ada suatu kebijakan tertentu di negara maju yang berimplikasi bagi negara berkembang. Sebagai contoh pelaku usaha dari negara maju kerap mengeluhkan tertutupnya akses pasar dari negara berkembang, minimnya perlindungan yang didapat atas hak atas kekayaan intelektualnya, bahkan keamanan investasi mereka secara keseluruhan. Pada saat hal ini terjadi, negara maju pun memanfaatkan perjanjian internasional. Mereka sebagai pihak yang berkepentingan merancang perjanjian yang dibuat sedemikian rupa sehingga kepentingan negara maju terbungkus dengan berbagai kalimat hukum yang canggih untuk melindungi kepentingan mereka yang akan membebani berbagai kewajiban bagi negara berkembang. Selanjutnya perjanjian internasional didiskusikan dengan negara berkembang dalam suatu konperensi internasional. Pada saat negara berkembang telah turut dalam perjanjian internasional, negara berkembang akan selalu diingatkan untuk mengubah atau mengamandemen ketentuan hukum nasionalnya. Tindakan negara berkembang membentuk atau mengubah peraturan perundang-undangan seringkali tidak bertujuan untuk merespons problem yang dihadapi masyarakatnya.
C.    KESIMPULAN
TujUan intervensi negara dalam perekonomian melalui kebijakan publik Islam adalah keterjaminan pemenuhan kebutuhan pokok setiap warga negara. Upaya itu dilakukan dengan mendorong individu agar dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan sekunder dan tersiernya sesuai dengan kemampuan yang mereka miliki. Politik ekonomi inilah yang menjadi garis dasar kebijakan fiskal Islam dan akan sangat terlihat dalam fungsi alokasi dan distribusi. Intrevensi negara sebagai institusi yang bertanggung jawab atas bisnis ini kita dapat melihatnya dari bagaimna oemerintah mengatur suatu pemasaran yang dari luar masuk kedalam negara. Intervensi negara dalam pasar bebas muncul kembali dalam literatur ekonomi islam pada tahun 1950. Para ekonom islam berusaha untuk mendefinisikan kembali margin intervensi negara dengan menaikkan pertanyaan: mengapa, kapan, dimana, dan bagaimana intervensi itu dilakukan. Upaya untuk melakukan memperileh kesimpulan  berbeda tentang masalah ini  yaitu dengan cara melakukan uapaya analisis pada relevansi atau tidak releannya mekanisme pasar dalam sinkron kepentingan individu dan masyarakat untuk membangun regulasi harga yang ada. ekonomi pasaar bagi sebagian kalangan dipercaya pula dapat membawa perekonomian secara lebih efisien.
D.    DAFTAR PUSTAKA
Al- Tahrir, 2 november 2016, Intervensi Negara Dalam Perekonomian, IAIN Salatiga.
M Gafar, Janejdri, 16 Aril 2013, Sikap Kritis Negara Berkembang Terhadap Hukum International, Jakarta.
Sri Wigati, juni 2012, Tanggung Jawab Negara DalamEkonomi Islam, IAIN Sunan Ampel.









[1] Disusun oleh kelompok 9: Siti Nurjanah dan Arma Yudha
[2] Al -Tahrir, Intervensi Negara Terhadap Perekonomian, 2 Nonember 2016, hal 498.
[3] Mustaq Ahmad, Etika Bisnis dalam Islam, trans. oleh Samson Rahman (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2003), 158. Lihat juga Ḥamidy Amīn ‘Abd al-Hady, al-Fikrah alIdārīyah al-Islāmīyah wa al-Muqāranah (Kairo: Dār al-Fikr al-’Arabī, 1976), 243.
[4] Al-Nabhāny, Al-Ni ẓ ām al-Iqti ṣ ādy fī al-Islām, 17.
  Al-Maliki, Politik, 37.
[5] Al-Nabhāny, Al-Ni ẓ ām al-Iqti ṣ ādy fī al-Islām, 17.
  Al-Maliki, Politik, 37.

[6] Abu Yūsuf, Kitāb al-Kharāj (Kairo: Maktabah Salafiyah, 1382H), 15.
[7] Sri Wigati, Tanggung Jawab Negara Dalam Ekonomi Islam, Juni 2012, hal 375.
[8] Janejdri M. Ghafar , Sikap Kritis Negara Berembang Terhadap Hukum International,Juni 2013,Hal 209.

Komentar

Postingan Populer