Landasan Filosofis dan Normatif Etika Bisnis Islam


BAB 2
Landasan Filosofis dan Normatif Etika Bisnis Islam[1]
A.     LANDASAN  FILOSOFIS ETIKA DALAM  ISLAM
Etika dalam Islam memegang mengacu pada dua sumber yaitu Qur’an dan Sunnah atau Hadis Nabi. Dua sumber ini merupakan sentral segala sumber yang membimbing segala perilaku dalam menjalankan ibadah, perbuatan, atau aktivitas umat islam yang benar-benar menjalankan ajaran islam. Tetapi dalam implementasi memberlakukan dua sumber ini sesuai dengantuntunan perkembangan budaya dan zaman diperlukan suatu proses penafsiran, ijtihad baik bersifat kontekstual maupun secara tekstual.
Oleh karna itu diperlukan proses pemikiran dan logika yang membimbing oleh nalar sehat, pikiran jernih, nurani yang cerdas dalam pemahaman ayat-ayat Qur’an dan sunnah nabi dalam rangka memproleh filosofi etika di dalam masyarakat Islam. Bukankah Allah menuntut di dalam Qur’an kepada umat manusia agar menggunakan akal dalam mensikapi kehidupan yang dinamis ini.
Manusia dengan segala unsur potensi natural yang terdiri dari nalar, insting, dan spiritual yang dimiliki dalam sejarah kebudayaannya sangat potensial untuk menemukan suatu landasan filosofis dan argumentatif untuk pengaturan di dalam perikehidupan individual dan bermasyarakat dalam mencapai tujuan bersama. Peraturan ini dilandasi oleh temuan sebab akibat dari kejadian di dalam pergaulan antar manusia dan lingkungannya, sesuai dengan misi, peran manusia yang dilahirkan di dunia dan diberi beban tugas yang harus diemban secara patut dan logis di dalam pergaulan.
Hukum alam dan hukum kuaa prima yang menyangkut asal usul alam semesta dan manusia serta hubungan antar manusia sejak awal peradaban dalam sejarah umat manusia secara folosofis telah lama menjadi bahan kajian dalam rangka menemukan dan mensintesakan bagaimana sebaiknya dan seharusnya serta sepatutnya hubungan antar manusia dan alam serta pergaulan manusia diatur dan dikelola secara benar, baik, dan harmonis.
Hasil olah fikir yang ditemukan manusia ini menjadi karya yang sering digunakan oleh manusia sendiri dalam mengembangkan kebudayaannya dalam mengatur perkehidupan yang baik dan benar.
Islam dengan sumbeer ajaran wahyu dan sunnah nabi ( Muhammad ) telah terlebih dahulu menjadi bahan acuan yang penting dalam mengatur perikehidupan antar sesama manusia dalam alam. Demikian juga dalam hubungan dengan penciptaNya (Al Kholik).
Pada momentum perjalan pemikiran manusia selain menggunakan alam fikiran dan logika yang dimiliki manusia tetapi didahului dengan menggunakan sumber-sumber wahyu yang memperkaya hasil-hasil temuan peraturan di dalam etika Islam.
1.             LANDASAN WAHYU DAN  ILMU
Masalah etika merupakan pembahasan yang paling dekat dengan tuntutan agama Islam. Karena didalam etika menjelaskan tentang perilaku dan sikap yang baik, tidak baik atau buruk, perilaku yang berdimensi pahala dan dosa sebagian konsekuensi perilaku baik dan buruk atau jahat menurut tuntutan agama islam dimana di dalamnya ditentukan norm fan ketentuan-ketentuannya atau ajaran-ajarannya sebagaiman yang telah dilakukan ketika ilmu fiqih dan ilmu kalam oleh ulamah fiqih dan ulama kalam di zamannya.
Wahyu bagi metodologis berfikirnya manusia dalam menemukan sistem peraturan kehidupan manusia merupakan sumber pertama yang melandasi folosofi dalam menentukan kriteria nilai baik dan nilai buruk. Adanya misi Nabi Muhammad dengan lamdasan wahyu Qur’an dan Hadis memperbaiki atau menyempurnakan akhlak umat manusia. Ini jelas indikasi bahwa maslah etika dalam kehidupan umat Islam adalah yang dicita-citakan dan dibutuhkan oleh umat manusia dalam pergaulan hidupnya dan dalam sikap dan perilakunya terhadap hidup dan kehidupan bersama dalam mengemban fungsi kehidupan di dunia.
Perintah Allah di dalam wahyu-Nya memang tidak berhenti hanya pada tataran beribadah secara ritual belaka, tetapi juga terkait erat dengan perbuatan-perbuatan baik terhadap sesama manusia dan lingkungan sebagai implementasi dari kesalehan sosial dari umat Islam yang dituntut untuk berlaku bauk (beramal sholih). Di samping itu Islam dengan wahyu Al-Qur’an sangat mencela dan melarang atas perilaku yang buruk dan merugikan terhadap diri sendiri, sesama manusia dan lingkungan. Bahkan Allah sangat melaknat terhadap manusia atau kaum yang melakukan kejahatan, kemungkaran, dan membuat bencana kerusakan di muka bumi ini.
Pada Al-Qur’an surah Muhammad ayat 22 dan 23 : Allah berfirman :
 فَهَلْ عَسَيْتُمْ إِنْ تَوَلَّيْتُمْ أَنْ تُفْسِدُوا فِي الأرْضِ وَتُقَطِّعُوا أَرْحَامَكُمْ (22) أُولَئِكَ الَّذِينَ لَعَنَهُمُ اللَّهُ فَأَصَمَّهُمْ وَأَعْمَى أَبْصَارَهُمْ (23) }

Artinya :
Apabila telah tetap perintah perang (mereka tidak menyukainya). Tetapi jikalau mereka benar (imannya) terhadap Allah, niscaya yang demikian itu lebih baik bagi mereka. Maka apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu akan membuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan? Mereka itulah orang-orang yang dilaknati Allah dan ditulikan-Nya telinga mereka dan dibutakan-Nya penglihatan mereka

Dari sini jelas bahwa landasan filosofis etika dalam Islam mengacu pada wahyu atau Firman Allah atau Al-qur’an dan Sunnah Rasul. Disamping juga mengacu pada hasil kajian filosofis para mujtahid yang terbimbing kemakrifatannya dan teruji kesalihannya.
Dengan demikian etika dalam Islam pendekatannya adalah subyektifisme, yaitu suatu aliran dilsafat etika yang mendasarkan pada tuntutan Tuhan (Allah) yakni Wahyu, Firman Tuhan Allah yaitu Al-Qur’an.
Dengan perkataan lain kerena Al-Quran itu merupakan wahyu (firman Allah), dimana dijamin kebenarannya secara ilmiah, maka ia dijadikan landassan kehidupan pribadi dan dalam hubungan dengan masyarakat dan lingkungan.[2]


2.           FILOSOFI ETIKA DALAM ISLAM
Dalam konteks filsafat Islam perbuatan baik itu dikenal dengan istilah perbuatan ma’ruf dimana secara kodrati manusia sehat dan normal tahu dan mengerti serta menerima sebagai kebaikan.Akal sehat dan nuraninya mengetahui dan menyadariakan hal ini.
Nilai baik atau ma’ruf dan nilai buruk atau mungkar ini bersifat universal. Hal ini sesuai dengan perintah Allah kepada manusia untuk melakukan perbuatan ma’ruf dan menghindari perbuatan mungkaratau jahat dalam surat 3 ayat 104 sebagai berikut :
وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ ۚ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

Artinya :
Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.
Maka secara filosofis Etika Islam mendasarkan diri pada nalar ilmu dan agama untuk menilai suatu perilaku manusia. Landasan penilaian ini dalam pratek kehidupan di masyarakat sering kita temukan bahwa secara agama dinilai baik atau buruk sering diperkuat dengan alsan-alasan dan argumen-argumen ilmiah atau ilmu dan agama Islam.
Bahkan sering terbukti dalam sejarah peradaban manusia bahwa landasan kebenaran agama (Islam) yang telah berabad-abad dinyatakan di dalam agama (Qur’an) dapat dibenarkan secara ilmiah oleh perjalanan sejarah mencari kebenaran oleh umat manusia.
Bahkan sering di dalam perjalanan dan para ilmuan telah banyak membuktikan kebenaran agama (Islam) secara ilmiah untuk berbagai bidang dan aspek paradigma ilmu pengetahuan, termasuk ilmu pengetahuan perilaku manusia dalam hubungannya dengan manusia dan alam sekitar.[3]




B.     LANDASAN NORMATIF ETIKA BISNIS ISLAM

Landasan normatif etika bisnis dalam Islam bersumber dari al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW. Dalam konteks ini dapat dibagi menjadi empat kelompok, yaitu : landasan tauhid, landasan keseimbangan, landasan kehendak bebas,dan landasan pertanggung jawaban.
1.      Tauhid ( Kesatuan)
Tauhid merupakan konsep serba eksklusif dan serba inklusif. Pada tingkat absolut ia membedakan khalik dengan makhluk, memerlukan penyerahan tanpa syarat kepada kehendak-Nya, tetapi pada eksistensi manusia memberikan suatu prinsip perpaduan yang kuat sebab seluruh umat manusia dipersatukan dalam ketaatan kepada Allah semata. Konsep tauhid merupakan dimensi vertikal Islam sekaligus horizontal yang memadukan segi politik, sosial ekonomi kehidupan manusia menjadi kebulatan yang homogen yang konsisten dari dalam dan luas sekaligus terpadu dengan alam luas.[5]
Dari konsepsi ini, maka Islam menawarkan keterpaduan agama, ekonomi, dan sosial demi membentuk kesatuan. Atas dasar pandangan ini maka pengusaha muslim dalam melakukan aktivitas bisnis harus memperhatikan tiga hal:[6] (1), tidak diskriminasi terhadap pekerja, penjual, pembeli, mitra kerja atas dasar pertimbangan ras, warna kulit, jenis kelamin atau agama. (2), Allah yang paling ditakuti dan dicintai. (3), tidak menimbun kekayaan atau serakah, karena hakikatnya kekayaan merupakan amanah Allah.
2.      Keseimbangan (Keadilan)
Ajaran Islam berorientasi pada terciptanya karakter manusia yang memiliki sikap dan prilaku yang seimbang dan adil dalam konteks hubungan antara manusia dengan diri sendiri, dengan orang lain (masyarakat) dan dengan lingkungan.[7]
Keseimbangan ini sangat ditekankan oleh Allah dengan menyebut umat Islam sebagai ummatan wasathan. Ummatan wasathan adalah umat yang memiliki kebersamaan, kedinamisan dalam gerak, arah dan tujuannya serta memiliki aturan-aturan kolektif yang berfungsi sebagai penengah atau pembenar. Dengan demikian keseimbangan, kebersamaan, kemodernan merupakan prinsip etis mendasar yang harus diterapkan dalam aktivitas maupun entitas bisnis.
Dalam al-Qur’an dijelaskan bahwa pembelanjaan harta benda harus dilakukan dalam kebaikan atau jalan Allah dan tidak pada sesuatu yang dapat membinasakan diri. Harus menyempurnakan takaran dan timbangan dengan neraca yang benar. Dijelaskan juga bahwa ciri-ciri orang yang mendapat kemuliaan dalam pandangan Allah adalah mereka yang membelanjakan harta bendanya tidak secara berlebihan dan tidak pula kikir, tidak melakukan kemusyrikan, tidak membunuh jiwa yang diharamkan, tidak berzina, tidak memberikan kesaksian palsu, tidak tuli dan tidak buta terhadap ayat-ayat Allah.
Agar keseimbangan ekonomi dapat terwujud maka harus terpenuhi syarat-syarat berikut: (1), produksi, konsumsi dan distribusi harus berhenti pada titik keseimbangan tertentu demi menghindari pemusatan kekuasaan ekonomi dan bisnis dalam genggaman segelintir orang. (2), setiap kebahagiaan individu harus mempunyai nilai yang sama dipandang dari sudut sosial, karena manusia adalah makhluk teomorfis yang harus memenuhi ketentuan keseimbangan nilai yang sama antara nilai sosial marginal dan individual dalam masyarakat. (3), tidak mengakui hak milik yang tak terbatas dan pasar bebas yang tak terkendali.
3.      Kehendak Bebas
Manusia sebagai khalifah di muka bumi sampai batas-batas tertentu mempunyai kehendak bebas untuk mengarahkan kehidupannya kepada tujuan yang akan dicapainya. Manusia dianugerahi kehendak bebas (free will) untuk membimbing kehidupannya sebagai khalifah. Berdasarkan aksioma kehendak bebas ini, dalam bisnis manusia mempunyai kebebasan untuk membuat suatu perjanjian atau tidak, melaksanakan bentuk aktivitas bisnis tertentu, berkreasi mengembangkan potensi bisnis yang ada.[8]
Dalam mengembangkan kreasi terhadap pilihan-pilihan, ada dua konsekuensi yang melekat. Di satu sisi ada niat dan konsekuensi buruk yang dapat dilakukan dan diraih, tetapi di sisi lain ada niat dan konsekuensi baik yang dapat dilakukan dan diraih. Konsekuensi baik dan buruk sebagai bentuk risiko dan manfaat yang bakal diterimanya yang dalam Islam berdampak pada pahala dan dosa.[9]
4.      Pertanggungjawaban
Segala kebebasan dalam melakukan bisnis oleh manusia tidak lepas dari pertanggungjawaban yang harus diberikan atas aktivitas yang dilakukan sesuai dengan apa yang ada dalam al-Qur’an” Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya” Kebebasan yang dimiliki manusia dalam menggunakan potensi sumber daya mesti memiliki batas-batas tertentu, dan tidak digunakan sebebas-bebasnya, melainkan dibatasi oleh koridor hukum, norma dan etika yang tertuang dalam al-Qur’an dan Sunnah rasul yang harus dipatuhi dan dijadikan referensi atau acuan dan landasan dalam menggunakan potensi sumber daya yang dikuasai. Tidak kemudian digunakan untuk melakukan kegiatan bisnis yang terlarang atau yang diharamkan, seperti judi, riba dan lain sebagainya. Apabila digunakan untuk melakukan kegiatan bisnis yang jelas-jelas halal, maka cara pengelolaan yang dilakukan harus juga dilakukan dengan cara-cara yang benar, adil dan mendatangkan manfaat optimal bagi semua komponen masyarakat yang secara kontributif ikut mendukung dan terlibat dalam kegiatan bisnis yang dilakukan.[10]
Pertanggunjawaban ini secara mendasar akan mengubah perhitungan ekonomi dan bisnis karena segala sesuatunya harus mengacu pada keadilan. Hal ini diimplementasikan minimal pada tiga hal, yaitu: (1), dalam menghitung margin, keuntungan nilai upah harus dikaitkan dengan upah minimum yang secara sosial dapat diterima oleh masyarakat. (2), economicreturn bagi pemberi pinjaman modal harus dihitung berdasarkan pengertian yang tegas bahwa besarnya tidak dapat diramalkan dengan probabilitas nol dan tak dapat lebih dahulu ditetapkan (seperti sistem bunga). (3), Islam melarang semua transaksi alegotoris yang dicontohkan dengan istilah gharar (penipuan).
Jika seorang Pengusaha Muslim berprilaku secara tidak etis, ia tidak dapat menyalahkan tindakannya pada persoalan tekanan bisnis ataupun pada setiap orang juga berprilaku tidak etis. Ia harus memikul tanggungjawab tertinggi atas tindakannya sendiri. Berkaitan dengan ini, Allah berfirman:

                                             كُلُّ نَفْسٍ بِمَا كَسَبَتْ رَهِينَةٌ
Artinya :
Tiap-tiap diri bertanggungjawab atas apa yang tekah diperbuatnya.
            Karenanya, konsep ini berkaitan dengan konsep kesatuan, keseimbangan dan kehendak bebas. Semua kewajiban harus dihargai kecuali secara moral salah.[11]
5.      Ikhsan ( Kebenaran)
Kebajikan dan kejujuran dalam konteks ini selain mengandung makna kebenaran lawan dari kesalahan, mengandung pula dua unsur yaitu kebajikan dan kejujuran. Dalam konteks bisnis kebenaran dimaksudkansebagai niat, sikap, dan prilaku yang benar yang meliputi proses akad (transaksi) proses mencari atau memperoleh komoditas perkembangan maupun dalam proses upayah meraih ataupun menetapkan keuntungan. Dengan prinsip kebenaran ini maka etika bisnis islam sangat menjaga dan berlaku preventif terhadap kemungkinan adanya kerugian salah satu pihk yang melakukan transaksi, kerja sama, atau perjanjian dalam bisnis.[12]




C.     KESIMPULAN
Etika dalam Islam memegang mengacu pada dua sumber yaitu Qur’an dan Sunnah atau Hadis Nabi. Dua sumber ini merupakan sentral segala sumber yang membimbing segala perilaku dalam menjalankan ibadah, perbuatan, atau aktivitas umat islam yang benar-benar menjalankan ajaran islam. Tetapi dalam implementasi memberlakukan dua sumber ini sesuai dengantuntunan perkembangan budaya dan zaman diperlukan suatu proses penafsiran, ijtihad baik bersifat kontekstual maupun secara tekstual.
Landasan wahyu dan ilmu memiliki makna wahyu bagi metodologis berfikirnya manusia dalam menemukan sistem peraturan kehidupan manusia merupakan sumber pertama yang melandasi folosofi dalam menentukan kriteria nilai baik dan nilai buruk. Adanya misi Nabi Muhammad dengan lamdasan wahyu Qur’an dan Hadis memperbaiki atau menyempurnakan akhlak umat manusia. Ini jelas indikasi bahwa maslah etika dalam kehidupan umat Islam adalah yang dicita-citakan dan dibutuhkan oleh umat manusia dalam pergaulan hidupnya dan dalam sikap dan perilakunya terhadap hidup dan kehidupan bersama dalam mengemban fungsi kehidupan di dunia.
Secara filosofis Etika Islam mendasarkan diri pada nalar ilmu dan agama untuk menilai suatu perilaku manusia. Landasan penilaian ini dalam pratek kehidupan di masyarakat sering kita temukan bahwa secara agama dinilai baik atau buruk sering diperkuat dengan alsan-alasan dan argumen-argumen ilmiah atau ilmu dan agama Islam.
Secara normatif terbagi menjadi tauhid, keseimbangan, kehendak bebas, pertanggungjawaban, kebenaran (Ihsan).
D.     DAFTAR PUSAKA
Muslich. (2010). Etika Bisnis Islami. Landasan Filosofis, Normatif, dan substansi Implementatif. Yogyakarta: Ekonisia FE UII.
Aziz, A. (2013). Etika Bisnis Perspektif Islam. Bandung: Alfabeta.
Wijaya Yahya(2014).Etika Ekonomi dan Bisnis Persepektif Agama-Agama di Indonesia:Globethics

Rafiq Issa Beekun, Islamic Business Ethics (Virginia: International Institute of Islamic Thought, 1997)
Muhammad,Etika Bisnis Islam.Yogyakarta:AKADEMI MANAJEMEN PERUSAHAAN YKPN
Oktasari Orin,AL-INTAJ,Bol.4, No.1,Maret 2018: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam Iain Bengkulu








[1] Disusun oleh Reza Komaria, Sarah Saputri, dan Zakiyyah Nur Fitri
[2] Muslich,Etika Bisnis Islami(Yogyakarta:EKONISIA,2004)22-25
[3] Muslich,Etika Bisnis Islami(Yogyakarta:EKONISIA,2004)28-29
[4] Oktasari Orin, AL_INTAJ,VOL4,NO.1,MARET 2018: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam
[5] Wijaya Yahya,Etika Ekonomi dan Bisnis Persepektif Agama-Agama di Indonesia(Globethics)22-23
[6] Rafiq Issa Beekun, Islamic Business Ethics (Virginia: International Institute of Islamic Thought, 1997), 8.
[7] Muslich,op.cit.,37.
[8]Rafik Issa Beekun, op. cit.,24.
[9] Muslich, op. cit.,h. 42, Lihat QS. An-Nisa (4):85, QS.Al-Kahfi (18):29.
[10] Muslich, op.cit., 43.
[11] Muhammad,Etika Bisnis Islam(Yogyakarta.AKADEMI MANAJEMEN PERUSAHAAN YKPN)67
[12] AzizAbdul,ETIKA BISNIS PERSPEKTIF ISLAM(Bandung,ALFABETA)46-47

Komentar

Postingan Populer