ETIKA BISNIS DALAM PEMASARAN


BAB 6
ETIKA BISNIS DALAM PEMASARAN[1]

A.     Awal Pandangan Pemasaran
Sebagai konsumen, kita dipengaruhi oleh beragam kegiatan pemasaran dari berbagai perusahaan yang menginginkan kita agar membeli produk mereka dan bukan dari pesaing. Sebagai konsumen kita menjadi bahan penting dalam proses pemasaran. American Marketing Association mendefinisikan pemasaran (marketing) sebagai “kegiatan, serangkaian penerapan, dan proses penciptaan, pengomunikasian, penghantaran, dan pertukaran yang memberikan nilai bagi pelanggan, klien, mitra, dan masyarakat secara luas.”
Untuk mengamati definisi ini secara rill, kita akan mengamati beberapa dasar pemasaran, yang juga mencakup bagaimana pemasar membangun hubungan dengan pelanggan. Lalu, kita akan mengamati berbagai kekuatan yang membentuk lingkungan pemasaran eksternal, di ikuti dengan strategi pemasaran, rencana pemasaran, komponen-komponen bauran pemasaran, dan kita juga akan membahas tentang segmentasi pasar dan bagaimana penggunanya dalam pemasaran target. Selanjutnya, kita akan mempelajari tentang riset pemasaran, diikuti dengan pembahasan mengenai faktor-faktor utama yang memengaruhi proses pembelian yang dilakukan oleh konsumen dan industri.[2]

B.     Etika dan Policy Product
Secara sederhana, Dewo Sunarno (2006) menyatakan bahwa etika adalah suatu cabang ilmu filsafat yang mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan moral. Etika berisi prinsip-prinsip moralitas dasar yang akan mengarahkan perilaku manusia.  Dengan semakin kompleksnya masalah moralitas di dunia modern, tidaklah mudah menerapkan dikotomi (benar-salah) pada setiap masalah moral. Setiap masalah dapat dilihat dari berbagai sudut pandang yang dapat menghasilkan pendapat ataupenilaian yang berbeda-beda.[3]
Etika merupakan suatu pedoman perilaku yangmempengaruhi harapan untuk berperilaku sosial sesuai dengan konvensi norma yang berlaku dalam suatu kelompok sosial tertentu. Karena etika menjangkau proses berpikir dan suara-hati dalam menentukan suatu pendapat atau perilaku. Sementara iklan harus bersifat komunikatif kepadakhalayak agar dapat diterima, dan iklan juga harus perlu mengetahui “consumer insight” yang akan sangat erat kaitannya dengan nilai-nilai budaya. Dimana sebuah etika juga disusun berdasarkan nilai-nilai budaya dari khalayak.[4]
Secara normatif bagi R. Lukman Fauroni (2002), etika dalam Al-Quran belum memperlihatkan sebagai suatu struktur yang berdiri sendiri dan terpisah dari sruktur lainnya, sebagaimana terpahami dari ilmu dan akhlaq. Struktur etika dalam Al-Quran lebih banyak menjelaskan tentang nilai-nilai kebaikan dan kebenaran baik pada tataran niat atau ide hingga perilaku dan perangai. Hal ini lebih tegas lagi bila dilihat dari penggambaran sikap dan perilaku Nabi Muhammad SAW yang disebut Al-Quran sebagai memiliki akhlak yang agung. Keberadaan nilai-nilai ini bersifat terbuka, menjelajah memasuki semua lini bidang kehidupan. Etika bisnis dalam Al-Quran dari sudut pandang ini, tidak hanya dapat dilihat dari aspek etika secara parsial, karena bisnis pun dalam pandangan Al-Quran telah menyatu dengan nilai-nilai etika itu sendiri. Al-Quran secara jelas menggambarkan perilaku-perilaku bisnis yang tidak etis, yang dapat ditelusuri dari muara kebatilan dalam bisnis.[5]
Keadilan dalam kegiatan produksi menjadi standar umum kegiatan produksi baik dalam menyusun kebijakan internal, menumbuh kembangkan bisnis, jual-beli, pengeluaran benefit, dan lain sebagainya.[6]
Dalam hal ini, kebijakan pertumbuhan ekonomi Islam justru memperkuat sektor riil dalam meningkatkan kinerja dan stabilitas sektor finansial. Atas dasar itu perlu diupayakan kebijakan yang mengarah pada optimalisasi potensi sektor produksi masyarakat melalui pemberian kredit mikro. Dalam banyak kasus, pertumbuhan ekonomi tinggi belum tentu memberikan pengaruh pada PDB masyarakat karena pertumbuhannya tidak mampu menyerap tenaga kerja baru. Jika pertumbuhan didukung oleh sektor padat modal maka angka pengangguran dan kemiskinan akan tetap tinggi.
Dalam konteks ini, strategi keuangan mikro Islam menggagas instrumen keuangan mikro melalui fungsi intermediasi perbankan syariah dan lembaga keuangan non-bank19. Melalui mekanisme bagi hasil, sistem perbankan Islam akan menguji kelayakan usaha dan return bagi hasil sehingga modal finansial cepat bergerak ke sektor produktif. Dengan demikian setiap anggota masyarakat yang memiliki ide dan kapasitas entrepreneurship memperoleh pinjaman modal. Jika wirausaha memperoleh akses dalam mendapatkan modal finansial maka penawaran agregat akan naik serta mampu menciptakan lapangan kerja baru.[7]
Dalam ilmu ekonomi diyakini bahwa ada hubungan berkesinambungan antara pertumbuhan, efisiensi, keadilan (equity), dan perbedaan pendapatan (inequality of income). Pertumbuhan ekonomi dapat menghasilkan keseimbangan dan ketidakseimbangan pendapatan. Oleh sebab itu, konsep distribusi menyangkut empat hal, yaitu: pengelolaan sumber daya ekonomi; mekanisme pasar dan redistribusi sistem dalam kaitannya dengan sektor produksi, tenaga kerja, dan upah; politik ekonomi yang menegaskan kebijakan strategis pemerintah untuk distribusi pendapatan; pembiayaan sektor produktif.
Konsekuensi implementasi etika produksi dalam hal pemerataan dan keadilan distributif memiliki batasan tertentu. Barang dan utilitasnya diorientasikan pada distribusi barang halal, manfaatnya bagi manusia, serta meningkatkan utilitasnya. Keadilan distributif tidak hanya bermakna transfer kekayaan tapi mengandung mekanisme pertukaran. Hanya objeknya bersifat immaterial seperti pahala di akhirat. Seluruh pelaku ekonomi dalam Islam harus memperhatikan: (a) manfaat secara syar’i yaitu aspek manfaat dari kegiatan produksinya bagi masyarakat di samping setiap upaya produksi yang dilakukan melalui mekanisme pasar, (b) setiap produsen bebas melakukan kegiatan produksi dengan tidak merusak lingkungan, dan (c) restrukturisasi ekonomi untuk mengurangi kesenjangan sosial di masyarakat.[8]
Model produksi konvensional berangkat dari masalah kelangkaan (scarcity) barang-jasa dan keterbatasan kemampuan produksi untuk memenuhi keinginan manusia yang semakin hari semakin tak terbatas. Dengan demikian, ekonomi konvensional dihadapkan pada permasalahan bagaimana mengupayakan ketersediaan sumber daya untuk memenuhi kebutuhan individu dengan memaksimalkan produktivitas untuk menghasilkan barang-jasa . Produsen dituntut untuk meng-efisienkan penggunaan sumber daya agar menghasilkan keuntungan maksimal. Di samping itu, produsen diharuskan mengabaikan sistem nilai agar proses produksi dapat dilakukan secara bebas.
Sebaliknya konsep produksi Islam berangkat dari status manusia sebagai ‘abd dan khalifah fi al-ardh. Dengan status ini, kegiatan produksi menjadi manifestasi ketundukan manusia pada Allah SWT (QS Hud: 61) sekaligus menjadi sarana untuk mengaktualisasikan kemampuannya (QS al-An’am: 165). Kegiatan produksi tidak sekedar upaya memenuhi kebutuhan hidup sebagai homo economicus tapi juga menjadi sarana untuk mengupayakan keadilan sosial dan menjaga keluhuran martabat manusia. Al-Qur’an dan as-Sunnah menjadi kerangka acuan untuk mengembalikan kegiatan produksi pada tujuan awalnya yaitu meningkatkan kesejahteraan manusia secara total (dalam istilah as-Syaibani disebut ‘imaratul kaun). Seluruh proses dan kegiatan produksi mengarah pada pemuliaan status manusia, peningkatan kesejahteraan hidup, menghilangkan ketimpangan sosio-ekonomi, dan memberikan dampak positif bagi pertumbuhan dan kemandirian ekonomi.
Pandangan umum al-Qur’an tentang kegiatan produksi dapat diidentifikasi pada beberapa konteks:
a.       Status manusia sebagai ‘abd (hamba Allah) dengan kewajiban beribadah pada-Nya dan memakmurkan bumi (QS Hud: 61).
b.      Status manusia sebagai wakil Allah SWT (khalifah fi al-Ardh) yang memiliki perbedaan derajat, kemampuan, dan keahlian serta kewajibannya untuk saling tolong menolong dan bekerja sama (QS al-An’am: 165; at-Taubah: 71; dan al-Maidah: 32) serta berlaku adil (QS Shad: 26).
c.       Kewajiban setiap manusia untuk bekerja dalam mencukupi kebutuhan hidup dan mengaktualisasikan kemampuannya (QS at-Taubah: 105; Yunus: 61, 67; Hud: 121, 123).
d.      Kewajiban manusia mengelola dan mengambil manfaat dari sumber daya alam yang telah disediakan Allah SWT (QS al-Baqarah: 29; al-A’raf: 10; dan al-Qashash: 77).
e.       Landasan moral dan pengetahuan yang terpatri dalam diri manusia (QS as-Syam: 7- 10; al-Baqarah: 31-32 dan an-Nur: 37-38).
f.        Kewajiban mendistribusikan harta kekayaan bagi kemaslahatan masyarakat (QS alMa’arij: 24-25; al-Hujarat: 10; at-Taubah: 103; dan al-Baqarah: 261-265).
Sebagai kegiatan yang menghasilkan barang dan jasa, produksi menekankan hubungan antara input yang digunakan dan output yang dihasilkan. Posisi produsen adalah memenuhi kebutuhan masyarakat. Tujuan ini memiliki implikasi yang luas. Selain untuk memenuhi skala kebutuhan berdasarkan permintaan konsumen dan meningkatnya kesejahteraan produsen, kegiatan produksi juga memiliki fungsi sosial yaitu mendistribusikan kesejahteraan masyarakat sebagai tanggung jawab sosial produsen. Dengan kata lain, peningkatan kesejahteraan produsen dibarengi dengan kewajiban mendistribusikan kekayaannya dalam bentuk zakat, sedekah, infak atau dana CSR (corporate social responsibility). Tujuan pemenuhan kebutuhan masyarakat dan peningkatan kesejahteraan produsen dilakukan dalam koridor syariah yaitu larangan menjalankan bisnis yang bertentangan dengan Islam atau larangan menghasilkan barang dan jasa haram serta dapat menghancurkan martabat manusia. Pemenuhan kebutuhan manusia dilakukan secara rasional dengan asumsi: menawarkan variasi produk secara inovatif, memperoleh keuntungan dari aktivitas produksi, melakukan produksi secara efisien, memenuhi kebutuhan konsumen dalam skala prioritasnya.[9]
Kegiatan produksi dalam Islam digerakkan oleh sistem moral (moral-driven). Moral menjadi acuan (frame of reference) untuk menghasilkan barang dan jasa, meng-efisienkan kinerja dan produktivitas, meningkatkan profit, serta menumbuhkembangkannya secara luas. Urgensi moral dalam produksi bermakna pengagungan manusia sebagai mahluk Tuhan, aktualisasi kemampuannya sebagai khalifah, serta menjalankan fungsi sosial bagi masyarakat . Argumen ini membantah eksistensi manusia hanya sebagai homo economicus. Dalam perspektif homo economicus, moral terpisah dari ekonomi. Sebaliknya dalam Islam, perilaku produksi adalah manifestasi ibadah, moralitas, dan ketundukan manusia pada Tuhannya. Meniadakan dimensi moral menyebabkan alienasi ekonomi dari kehidupan manusia. Produsen dalam Islam mengimplementasikan nilai moral dalam al-Qur’an dan as-Sunnah dalam hal memenuhi permintaan konsumen, proses produksi, memperoleh modal, pertumbuhan usaha, serta diversifikasi produk untuk kelangsungan usaha. Karena tidak lepas dari nilai moral, produksi berpengaruh langsung pada kehidupan sosial.
Celaan al-Qur’an terhadap dis-ekuilibrium ekonomi dan ketimpangan sosial masyarakat Mekkah menjadi bukti keinginan moral untuk merekayasa masyarakat yang adil (QS at-Takatsur: 1-4; al-Humazah: 1-7). Realitas ekonomi masyarakat Mekkah Jahiliyah yang penuh dengan eksploitasi ekonomi, kecurangan dalam perdagangan, monopoli, mementingkan diri sendiri, dan hidup bermewah-mewahan hanya melahirkan penindasan manusia, menimbulkan bibit permusuhan, dan ketimpangan sosial ekonomi. Atas dasar itu, spirit ekonomi yang berlandaskan etika mampu menghilangkan ketimpangan itu.
Tujuan penting untuk merumuskan etika produksi dalam Islam adalah:
1.      Sumber ajaran Islam yaitu al-Qur’an dan as-Sunnah mengandung dimensi moral yang dominan melalui petunjuk pada manusia untuk bertindak dan berakhlak mulia. Hal ini bertujuan untuk mengangkat harkat dan martabat manusia itu sendiri.
2.      Dalam kegiatan produksi, peran moral bertujuan memberi arah yang jelas tentang manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, mengelola sumber daya ekonomi, meningkatkan taraf kesejahteraan hidup, serta menggagas kesejahteraan bagi masyarakat luas .
3.      Peran moral dalam kegiatan produksi adalah keberpihakan pada kehidupan manusia, alam, dan Tuhan serta mendorongnya untuk memanfaatkan sumber daya ekonomi sesuai dengan tuntunan Allah SWT.
4.      Dalam kegiatan produksi, aksioma etika menjadi dasar dalam memberi arah dengan mempertimbangkan tatanan nilai dan norma Islam seperti hak dan kewajiban manusia dalam hidup, kewajiban produsen/pemilik modal, hak dan kewajiban karyawan, kewajiban menjaga kelestarian sumber alam, produksi barang yang mempromosi keluhuran martabat manusia, serta mengembangkan mekanisme produksi yang efektif dan efisien.[10]




C.     Konsep Pembentukan Nilai
Nilai (value) suatu produk membandingkan manfaatnya dengan biayanya. Manfaat tidak saja mencakup fungsi-fungsi yang diberikan produk yang bersangkutan, tetapi juga kepuasan emosional terkait dengan kepemilikan, pengalaman, atau kehadiran produk tersebut. Tetapi setiap produk memiliki biaya, temasuk harga jual, pengeluaran waktu pembeli, dan bahkan biaya emosional dari pengambilan keputusan pembelian. Pelanggan yang puas menerima manfaat yang lebih besar daripada biayanya.
Strategi pemasaran dari perusahaan terkemuka berfokus pada penambahan nilai bagi pelanggan. Sumber daya pemasaran dikerahkan untuk menambah manfaat memuaskan pelanggan, perusahaan dapat:
a.       Mengembangkan produk yang benar-benar baru yang berkinerja lebih baik (memberikan manfaat lebih besar) ketimbang produk yang sudah ada;
b.      Membuka toko lebih lama selama musim sibuk;
c.       Menawarkan pengurangan harga;
d.      Menawarkan informasi yang menjelaskan bagaimana suatu produk dapat digunakan dengan cara lain (manfaat penggunaan baru tanpa menambah biaya). [11]
Untuk memahami bagaimana pemasaran menciptakan nilai bagi pelanggan, kita perlu mengetahui jenis manfaat yang didapatkan pembeli barang atau jasa suatu perusahaan.[12]
Penetapan harga (pricing) suatu produk, yaitu pemilihan harga jual terbaik, sering kali menjadi hal yang membutuhkan trik tersendiri. Di satu sisi, harga harus menutup berbagai biaya, misalnya biaya operasional, administrasi, riset, dan pemasaran. Disisi lain, harga tidal bisa terlalu tinggi sehingga menyebabkan pelanggan lari ke pesaing. Penetapan harga yang tepat berarti mencari titik tengah antara kedua kebutuhan tadi.[13]


D.    Etika Promosi
Salah satu profesi yang menjadi banyak pilihan adalah berbisnis, dimana hal tersebut merupakan kegiatan yang menghasilkan dan menjual produk atau jasa yang dibutuhkan konsumen pada tingkat keuntungan tertentu. Dan periklanan merupakan salah satu bagian yang tidak terpisahkan dari aktifitas bisnis modern saat ini karena iklan memainkan peranan yang sangat penting untuk menyampaikan informasi (pesan) tentang suatu produk kepada masyarakat.
Dalam dunia bisnis, iklan merupakan satu kekuatan yang dapat digunakan untuk menrik konsumen sebanyak-banyaknya. Penekanan utama iklan adalah akses informasi dan promosi dari pihak produsen kepada konsumen.[14]
Secara sederhana, Dewo Sunarno (2006) menyatakan bahwa etika adalah suatu cabang ilmu filsafat yang mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan moral.Etika berisi prinsip-prinsip moralitas dasar yang akan mengarahkan perilaku manusia. Dengan semakin kompleksnya masalah moralitas di dunia modern, tidaklah mudah menerapkan dikotomi (benar-salah) pada setiap masalah moral. Setiap masalah dapat dilihat dariberbagai sudut pandang yang dapat menghasilkan pendapat ataupenilaian yang berbeda-beda.
Sementara disisi lain juga harus diakui bahwa pemasaran merupakan salah satu urat nadi dalam proses bisnis. Segala macamproduksi, output dengan hasil terbaik pun tidak akan optimal diserap olehkonsumen jika tidak melakukan kegiatan pemasaran atau memilikipemasaran yang bagus. Berbagai macam cara dapat dilakukan dalammamasarkan suatu produk sehingga sampai di tangan konsumen.[15]
Kegiatan produksi menjadi sarana promosi konsep keadilan untuk menghilangkan ketimpangan dan disekuilibrium ekonomi. Sumber daya ekonomi dan kekayaan dipahami sebagai “amanah” dan manusia harus mendistribusikannya secara merata. Pemanfaatannya menjadi sarana untuk mengusung standar kehidupan yang bermartabat.[16]
Promosi merupakan salah satu marketing mix (bauran pemasaran). Pemasaran menurut perspektif syariah adalah segala aktivitas bisnis dalam bentuk kegiatan penciptaan nilai (value-creating-ctvities) yang memungkinkan pelakunya bertumbuh serta mendayagunakan kemanfaatannya yang dilandasi dengan kejujuran, keadilan, keterbukaan, dan keihklasan sesuai proses yang berprinsip pada akad bermuamalah Islami.
Dalam konteks etika pemasaran yng bernuansa Islami, dapat dicari pertimbangan dalam Al-Quran.  Al-Quran memberikan dua persyaratan dalam proses bisnis yakni persyaratan horizontal (kemanusiaan) dan persyaratan vertical (spiritual). Sebagaimana firman Allah SWT dalam QS.Al-Baqarah: 1-2, yang artinya:
Kitab (Al-Quran) ini tidak ada yang diragukan didalamnya. Menjadi petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa”.
Isyarat diatas sangat relevan dijadikan sebagai pedoman dalammelakukan proses marketing, sebab marketing merupakan bagian yangsangat penting dan menjadi mesin suatu perusahaan. Maka dengnmengambil petunjuk yang dijelskan Allah dalam Al-Quran, maka dalam rangka penjulan itupun kita harus dapat memberikan jaminan bagi produk yang kita miliki.[17]






B.     PENUTUP
1.      Kesimpulan
American Marketing Association mendefinisikan pemasaran (marketing) sebagai “kegiatan, serangkaian penerapan, dan proses penciptaan, pengomunikasian, penghantaran, dan pertukaran yang memberikan nilai bagi pelanggan, klien, mitra, dan masyarakat secara luas.”
Nilai (value) suatu produk membandingkan manfaatnya dengan biayanya. Manfaat tidak saja mencakup fungsi-fungsi yang diberikan produk yang bersangkutan, tetapi juga kepuasan emosional terkait dengan kepemilikan, pengalaman, atau kehadiran produk tersebut.
Kegiatan produksi menjadi sarana promosi konsep keadilan untuk menghilangkan ketimpangan dan disekuilibrium ekonomi. Sumber daya ekonomi dan kekayaan dipahami sebagai “amanah” dan manusia harus mendistribusikannya secara merata. Pemanfaatannya menjadi sarana untuk mengusung standar kehidupan yang bermartabat

2.      Saran
Penulis menyadari makalah ini masih banyak kekurangan, maka dari itu penulis mengharapakan kritik dan saran dari pembaca sebagai pedoman penulisan makalah yang lebih baik kedepannya.


DAFTAR PUSTAKA


Ebert, Griffin, 2014, Pengantar Bisnis, Edisi Kesepuluh, Jakarta: Erlangga.

Mabarroh Azizah, Etika Perilaku Periklanan dalam Bisnis Islam, Jurnal: Volume III, No.1 Juni 2013/1434H.

Fahrudin Sukarno, Etika Produksi Perspektif Ekonomi Islam, Jurnal Ekonomi Islam Al-Infaq, Vol. 1 No. 1, September 2010.











[1] Berliana Putri , Indah Dwi Lestari dan Oki Ade Putra
[2] Ebert, Griffin, 2014, Pengantar Bisnis, Edisi Kesepuluh, Jakarta: Erlangga, h. 356
[3] Mabarroh Azizah, Etika Perilaku Periklanan dalam Bisnis Islam, Jurnal: Volume III, No.1 Juni 2013/1434H, h.  41
[4] Mabarroh Azizah, Etika Perilaku Periklanan dalam Bisnis Islam, Jurnal: Volume III, No.1 Juni 2013/1434H, h.  43
[5] Mabarroh Azizah, Etika Perilaku Periklanan dalam Bisnis Islam, Jurnal: Volume III, No.1 Juni 2013/1434H, h.  44
[6] Fahrudin Sukarno, Etika Produksi Perspektif Ekonomi Islam, Jurnal Ekonomi Islam Al-Infaq, Vol. 1 No. 1, September 2010, h. 45
[7] Fahrudin Sukarno, Etika Produksi Perspektif Ekonomi Islam, Jurnal Ekonomi Islam Al-Infaq, Vol. 1 No. 1, September 2010, h. 48
[8] Fahrudin Sukarno, Etika Produksi Perspektif Ekonomi Islam, Jurnal Ekonomi Islam Al-Infaq, Vol. 1 No. 1, September 2010, h. 49
[9] Fahrudin Sukarno, Etika Produksi Perspektif Ekonomi Islam, Jurnal Ekonomi Islam Al-Infaq, Vol. 1 No. 1, September 2010, h. 40-41
[10] Fahrudin Sukarno, Etika Produksi Perspektif Ekonomi Islam, Jurnal Ekonomi Islam Al-Infaq, Vol. 1 No. 1, September 2010, h. 42-43
[11] Ebert, Griffin, 2014, Pengantar Bisnis, Edisi Kesepuluh, Jakarta: Erlangga, h. 357
[12] Ebert, Griffin, 2014, Pengantar Bisnis, Edisi Kesepuluh, Jakarta: Erlangga, h. 357
[13]Ebert, Griffin, 2014, Pengantar Bisnis, Edisi Kesepuluh, Jakarta: Erlangga, h.  364
[14] Mabarroh Azizah, Etika Perilaku Periklanan dalam Bisnis Islam, Jurnal: Volume III, No.1 Juni 2013/1434H, h.  1
[15] Mabarroh Azizah, Etika Perilaku Periklanan dalam Bisnis Islam, Jurnal: Volume III, No.1 Juni 2013/1434H, h.  41
[16] Fahrudin Sukarno, Etika Produksi Perspektif Ekonomi Islam, Jurnal Ekonomi Islam Al-Infaq, Vol. 1 No. 1, September 2010, h. 45
[17] Mabarroh Azizah, Etika Perilaku Periklanan dalam Bisnis Islam, Jurnal: Volume III, No.1 Juni 2013/1434H, h.  46-47

Komentar

Postingan Populer