Etika Dalam Bisnis SDI


Bab 8
A.              Peran SDI
Manajemen Sumber Daya Insani, disingkat MSDM, adalah suatu ilmu atau cara mengatur hubungan dan peranan sumber daya (tenaga kerja) yang dimiliki oleh individu secara efisien dan efektif serta dapat digunakan secara maksimal sehingga tercapai tujuan (goal) bersama perusahaan, karyawan dan masyarakat menjadi maksimal.
Sumber Daya Insani merupakan kekuatan terbesar dalam pengolahan seluruh sumber daya yang ada di muka bumi. Manusia diciptakan oleh Allah swt. sebagai khalifah di bumi untuk mengelola bumi dan sumber daya yang ada di dalamnya demi kesejahteraan manusia sendiri, makhluk dan seluruh alam semesta, karena pada dasarnya seluruh ciptaan Allah yang ada di muka bumi ini sengaja diciptakan oleh Allah untuk kemaslahatan umat manusia. Hal ini sangat jelas ditegaskan oleh Allah dalam al-Quran surat al-Jatsiyah ayat 13: “Dan Dia telah menundukkan untukmu apa yang di langit dan apa yang di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berfikir”.
Manajemen Sumber Daya Insani didasari pada suatu konsep bahwa setiap karyawan adalah manusia bukan mesin dan bukan semata menjadi sumber daya bisnis. Kajian manajemen Sumber Daya Insani menggabungkan beberapa bidang ilmu seperti psikologi, sosiologi, dan lain sebagainya.
Unsur manajemen Sumber Daya Insani adalah manusia. Manajemen Sumber Daya Insani juga menyangkut desain dan implementasi sistem perencanaan, penyusunan karyawan, pengembangan karyawan, pengelolaan karier, evaluasi kinerja, kompensasi karyawan dan hubungan ketenagakerjaan yang baik. Manajemen Sumber Daya Insani melibatkan semua keputusan dan praktek manajemen yang mempengaruhi secara lansung Sumber Daya Insaninya. [1]
Keberlangsungan organisasi tidak lepas dari peran manajemen karena melalui manajemen yang baik dapat menghasilkan organisasi sesuai dengan harapan dan tujuan organisasiitu. Semua organisasi, baik yang berbentuk badan usaha ataupun badan yang bersifat publik, tentu mempunyai suatu tujuan sendiri-sendiri yang merupakan motivasi dari pendiriannya.
Pentingnya manajemen sumber daya manusia telah didasari oleh semua pihak karena manajemen sumber daya manusia telah menjadi kebutuhan pokok perusahaan atau lembaga. Manajemen pada dasarnya dibutuhkan oleh semua organisasi karena tanpa manajemen, semua usaha ataupun kegiatan untuk mencapai suatu tujuan akan sia-sia belaka. Sumber daya manusia merupakan modal dan kekayaan yang terpenting dari setiap kegiatan manusia. Manusia sebagai unsur terpenting mutlak dianalisis dan dikembangkan dengan cara tersebut, waktu, tenaga dan kemampuannya benar-benar dapat dimanfaatkan secara optimalbagi kepentingan organisasi maupun bagi individu. Hubungan manajemen dengan sumber daya manusia merupakan proses usaha pencapaian tujuan melalui kerja sama dengan orang lain. Ini berarti menunjukkan pemanfaatan sumber daya manusia untuk mencapai tujuan organisasi. Mei Sulastri Sonya Aziziyah, menganalisis bahwa peran pemilik perusahaan terhadap proses manajemen sumber daya manusia berbasis Islam telah berjalan cukup maksismal.[2]
Manajemen Sumber Daya Insani diperlukan untuk meningkatkan efektivitas Sumber Daya Insani dalam organisasi. Tujuannya adalah memberikan kepada organisasi satuan kerja yang efektif. Untuk mencapai tujuan ini, studi tentang manajemen personalia akan menunjukkan bagaimana seharusnya perusahaan mendapatkan, mengembangkan, menggunakan, mengevaluasi, dan memelihara karyawan dalam jumlah (kuantitas) dan tipe (kualitas) yang tepat.
Manajemen Sumber Daya Insani adalah suatu proses menangani berbagai masalah pada ruang lingkup karyawan, pegawai, buruh, manajer dan tenaga kerja lainnya untuk dapat menunjang aktivitas organisasi atau perusahaan demi mencapai tujuan yang telah ditentukan. Bagian atau unit yang biasanya mengurusi SDM adalah departemen Sumber Daya Insani atau dalam bahasa inggris disebut HRD atau human resource department. Manajemen Sumber Daya Insani adalah ilmu dan seni mengatur hubungan dan peranan tenaga kerja agar efektif dan efisien membantu terwujudnya tujuan perusahaan, karyawan dan masyarakat.[3]
Mengapa Manajemen Sumber Daya Insani penting? karena praktik kerja berkinerja tinggi, praktik yang menghasilkan kinerja individu dan organisasi yang tinggi, contoh: 1) Tim-tim kerja yang mengarahkan diri sendiri, 2) Rotasi jabatan, 3) Pelatihan keterampilan yang tinggi tingkatannya, 4) Kelompok-kelompok pemecah masalah, 5) Proses dan prosedur manajemen mutu dan terpadu (total quality managemen), 6) Mendorong perilaku yang inovatif dan kreatif, 7) Keterlibatan dan pelatihan karyawan secara luas, 8) Pelaksanaan saran-saran karyawan, 9) Upah berubah-ubah berdasarkan perubahan kinerja, 10) Pelatihan dan pembinaan, 11) Banyak sekali berbagi informasi, 12) Menggunakan survei sikap karyawan, 13) Integrasi lintas fungsi, 14) Prosedur perekrutan dan seleksi karyawan yang menyeluruh.[4]

1.      Prinsip-Prinsip Saling Membutuhkan
Urgensi sumber daya manusia ini, perlu disadari oleh semua tingkatan manajemen. Bagaimanapun majunya teknologi saat ini, namun faktor manusia tetap memegang peranan penting bagi keberhasilan suatu organisasi. Sehingga, seberapa hebat organisasi, secanggih apapun teknologi yang digunakan, seunggul apapun metode kepemimpinannya, tetap saja membutuhkan manusia sebagai pengelolanya.[5]
Secara umum sistem rekrutmen yang dilakukan sangatlah sederhana. Pada saat perusahaan membutuhkan tenaga kerja atau pegawai baru, maka pemilik membuat pengumuman sederhana yang ditempel pada bagian luar gedung perusahaan. Selain itu, pemilik juga menginformasikan kepada semua pegawai tentang rekrutmen ini. Sehingga informasi ini kemudian tersebar dari mulut ke mulut. Tidak jarang, pegawai yang masuk biasanya merupakan referensi dari pegawai lama yang ada di perusahaan tersebut.[6]
Kebutuhan akan Sumber Daya Insani dimasa depan ditentukan oleh sasaran dan strategi organisasi. Permintaan akan karyawan merupakan hasil dari permintaan akan jasa atau produk organisasi itu.[7]
Insentif sebagai sarana motivasi yang mendorong para pegawai untuk bekerja dengan kemampuan yang optimal, yang dimaksudkan sebagai pendapatan ekstra di luar gaji atau upah yang telah di tentukan. Pemberian insentif dimaksudkan agar dapat memenuhi kebutuhan para pegawai dan keluarga mereka. Istilah sistem insentif pada umumnya digunakan untuk menggambarkan rencana - rencana pembayaran upah yang dikaitkan secara langsung atau tidak langsung dengan berbagai standar kinerja pegawai atau profitabilitas organisasi.
Insentif dapat dirumuskan sebagai balas jasa yang memadai kepada pegawai yang prestasinya melebihi standar yang telah ditetapkan. Insentif merupakan suatu faktor pendorong bagi pegawai untuk bekerja lebih baik agar kinerja pegawai dapat meningkat.
Dari pengertian di atas untuk lebih jelas tentang insentif, di bawah ini ada beberapa ahli manajemen mengemukakan pengertian mengenai insentif. Insentif adalah tambahan balas jasa yang diberikan kepada karyawan tertentu yang prestasinya di atas prestasi standar. Insentif ini merupakan alat yang di pergunakan pendukung prinsip adil dalam pemberian kompensasi. Insentif merupakan imbalan langsung yang dibayarkan kepada karyawan karena prestasi melebihi standar yang ditentukan. Dengan mengasumsikan bahwa uang dapat mendorong karyawan bekerja lebih giat lagi, maka mereka yang produktif lebih menyukai gajinya dibayarkan berdasarkan hasil kerja. Atau pengertian lain Insentif adalah suatu bentuk motivasi yang dinyatakan dalam bentuk uang atas dasar kinerja yang tinggi dan juga merupakan rasa pengakuan dari pihak organisasi terhadap kinerja karyawan dan kontribusi terhadap organisasi (perusahaan).
Para manajer harus menyusun sistem insentif yang mencerminkan sifat pekerjaan dan tempat kerja yang berubah-ubah supaya senantiasa mampu memotivasi karyawan. Insentif organisasi dapat mencakup banyak macam imbalan dan tunjangan yang berbeda-beda seperti upah dan gaji pokok, upah serta gaji tambahan, upah insentif, dan tunjangan serta jasa lainnya
Salah satu alasan pentingnya pembayaran insentif karena adanya ketidaksesuaian tingkat kompensasi yang dibayarkan kepada eksekutif dengan pekerja lain. Program insentif adalah salah satu cara untuk memungkinkan seluruh pekerja merasakan bersama kemakmuran perusahaan.[8]
Pengembangan SDM merupakan wahana untuk membekali pegawai atau SDM degan beberapa ketrampilan yang relevan bagi organiasasi. Program ini biasanya dilakukan melalui pelatihan dan upgrading bagi SDM. Pada kenyataannya, pelatihan pegawai baru dilakukan dengan sistem on the job training, yakni bentuk pelatihan yang secara langsung dalam situasi kerja. Pegawai baru biasanya didampingi oleh senior untuk membimbing bagaimana standar pekerjaan yang biasanya dilakukan. Sambil melaksanakan kerja, karyawan secara berkala didampingi-sekaligus diawasi-oleh senior yang telah ditentukan. Sehingga kinerja yang diinginkan oleh perusahaan bisa dipenuhi oleh pegawai baru tersebut.
Pada pegawai bidang menjahit, biasanya pegawai diminta untuk membuat satu jenis pakaian yang ditentukan sampai jadi. Hasilnya kemudian dinilai oleh senior, dan kemudian diberi saran dan masukan dalam kaitannya dengan kerja menjahit ini. Sejauh ini program pelatihan secara khusus memang belum pernah dilakukan. Hal ini mengingat jenis pekerjaan yang sederhana dan juga membutuhkan ketrampilan yang cukup sederhana, sehingga program upgrading dirasa kurang begitu relevan.[9]

2.      Merumuskan Pekerjaan Dan Tanggung Jawab
Bagi manajer muslim sangat perlu untuk memahami tuntunan dalam Al-Qur’an yang dapat mencegah penerimaan yang tidak jelas dan nepotisme dan untuk mencegah diskriminasi dalam tempat kerja. Dalam manajemen berbasis syariah keahlian saja tidak cukup. Jadi harus diimbangi dengan etos kerja dan tanggungjawab yang tinggi. Maka setiap muslim dalam beraktivitas apapun harus dilakukan dengan cara yang professional. Yang dimaksudkan professional menurut Islam dicirikan oleh tiga hal yaitu Ahliyah (keahlian), Himmatul ‘Amal (etos kerja tinggi), dan Amanah (terpercaya dan bertanggungjawab).[10]
Pelatihan adalah proses sistematik pengubahan perilaku para pegawai dalam suatu arah guna meningkatkan tujuan-tujuan organisasional. Sedangkan pengembangan adalah sebagai penyiapan individu untuk memikul tanggungjawab yang berbeda atau yang lebih tinggi di dalam organisasi. Pengembangan biasanya berhubungan dengan peningkatan kemampuan intelektual atau emosional yang diperlukan untuk menunaikan pekerjaaan yang lebih baik. Pelatihan dan pengembangan itu penting karena keduanya merupakan cara yang digunakan oleh organisasi atau perusahaan untuk mempertahankan, menjaga dan memelihara pegawai publik dalam organisasi sekaligus meningkatkan keahlian para pegawai untuk kemudian dapat meningkatkan produktivitasnya.
Pengembangan SDM lebih terfokus ke jangka panjang. Melalui program pengembangan akan mengurangi ketergantungan organisasi terhadap adanya program pengangkatan karyawan baru, karena program pengembangan semata-mata untuk memberdayakan karyawan dalam organisasi untuk jangka panjang. Dalam hal ini organisasi atau perusahaan selalu berupaya untuk mendapatkan sumber daya manusia yang berkualitas guna menunjang efektivitas kegiatan dalam perusahaan. Upaya tersebut dapat berupa program pelatihan dan pengembangan yang di rencanakan.
Islam mendorong untuk melakukan pelatihan (training) terhadap para karyawan dengan tujuan mengembangkan kompetensi dan kemampuan dalam menjalankan tanggungjawab pekerjaannya dan pelatihan ini diutamakan bersifat Islami. Islam menegaskan bahwa pelatihan dan pengembangan mencakup mulai dari pengembangan moral, spiritual, dan pada akhirnya dimuat pada kebijakan fiskal. Pelatihan dan pengembangan harusnya mengantarkan pada peningkatan keimanan kepada Allah SWT dan untuk menambah pengetahuan dan ketrampilan pekerja.
Islam tidak hanya mendorong seseorang untuk bekerja, tetapi juga memotivasi untuk melakukan pekerjaan dengan baik dan sempurna. Seorang karyawan sebaiknya bekerja dengan segenap kemampuan, keinginan, dan kesungguhan untuk mencapai kesempurnaan dan kesuksesan mereka sendiri, lingkungan sosialnya, dan juga untuk hari akhir. Dalam Islam terdapat konsep ikhsan (keunggulan dan kebajikan) berhubungan dengan kebaikan dan sesuatu yang diperintahkan oleh Allah SWT.[11]

3.      Pendelegasisan Wewenang Memberikan Kontra Prestasi
Konsep syura yang ditentukan Allah dalam mengatur persoalan hidup kaum muslimin, bukan berarti memberikan wewenang (kekuasaan) mutlak di tangan khalifah dan pemimpin. Sebagai konsekuensi adanya konsep syura, wewenang terkait dengan keputusan bersama akan didelegasikan kepada para pembantu dan pegawai khalifah.
Konsep syura yang ditentukan Allah dalam mengatur persoalan hidup kaum muslimin, bukan berarti memberikan wewenang (kekuasaan) mutlak di tangan khalifah dan pemimpin. Sebagai konsekuensi adanya konsep syura, wewenang terkait dengan keputusan bersama akan didelegasikan kepada para pembantu dan pegawai khalifah. Khalifah mendeiegasikan wewenang kepada walinya (gubernur) untuk mengatur wilayah yang dikuasainya, sebagaimana khalifah juga mendelegasikan wewenang kepada pembantunya di sentral pemerintahan.
Pendelegasian wewenang ini tercermin dalam pemerintahan Umar r.a. Suatu ketika masyarakat mengadukan kepemimpinan Iyadh bin Ghanm dalam pengelolaan harta Baitul mal, Beliau memperluas pemberian harta baitul mat, sehingga hanya tersisa sedikit daripada Khalid bin Walid. Khalifah Umar r.a. kemudian berkata, "Ini merupakan tugas dan tanggung jawab Abu Ubaidah at Jarrah. Tugas untuk mengawasi dan mengaudit keuangan Baitul mal menjadi tugas dan wewenang Abu Ubaidah at Jarrah.
Setiap pemimpin dan gubemur suatu wilayah memiliki wewenang untuk mengatur dan mengelola daerah kekuasaan masing-masing. Akan tetapi, pendelegasian wewenang ini bukan berarti khalifah tidak memiliki hak untuk melakukan intervensi atau pendapat kepada mereka. Khalifah tetap memiliki hak untuk melakukan pengawasan dan audit, terutama ketika wewenang itu disalahgunakan. Contoh bentuk pendelegasian wewenang mutlak adalah apa yang dilakukan Khalid bin Walid dalam membuat perjanjian dengan Persia. Perjanjian Annr bin Ash dengan Mukauclis seorang penguasa Mesir tanpa harus merujuk kepada khalifah. Para pemimpin tersebut memiliki wewenang mutlak.[12]
1.      Kebijakan Upah Yang Adil
a.       Penentuan Upah
Rasulullah SAW memberikan contoh yang harus dijalankan kaum muslinnirt setetahnya, yakni, penentuan upah bagi pars pegawai sebelum mereka mulai menjalankan pekerjaannya. Rasulullah SAW bersabda "Barang siapa mernpekedakan seorang pekerja, maka harus disebutkan upahnya." Rasulullah memberikan petunjuk bahwa dengan memberikan informasi gaji yang akan diterima, diharapkan akan memberikan dorongan semangat bagi pekerja untuk memulai pekerjaan, dan memberikan ketenangan. Mereka akan menjalankan tugas pekerjaan sesuai dengan kesepakatan kontrak kerja dengan majikan.
Selain itu, Rasulullah juga mendorong para majikan untuk nnembayarkan upah para pekerja ketika mereka telah usai menunaikan tugasnya. Rasulullah bersabda, "Berikanlah upah pekerja sebelum keringatnya kering." (RR lbnu Majah dari Umar, Abu Ya'ta dan Abu Huraira.h). Ketentuan ini untuk menghilangkan keraguan pekerja atau kekhawatirannya bahwa upah mereka akan dibayarkan. atau akan mengalami keteriambatan tanpa adanya alasan yang dibenarkan. Namun demikian, umat Islam diberikan kebebasan untuk menentukan waktu pembayaran upah sesuai dengan kesepakatan antara pekerja dengan yang memperkerjakan. Demikian juga upah yang dibayarkan kepada para pekerja boleti dibayarkan berupa uang, barang, atau binatang (temak). Sebagaimana satu riwayat bahwa Umar bin Khattab pernah memberikan upah kepada gubemur Himsha yaitu iyad bin Ghanam berupa uang satu dinar, satu ekor domba dan satu mud kurma setiap hari.
b.      Dasar Penentuan Upah
Upah ditentukan berdasarkan jenis pekerjaan, ini merupakan asas pemberian upah sebagaimana ketentuan yang dinyatakan Allah dalam firmannya pada surat at Ahqaf ayat 19, 'Van bagi masing-masing mereka derajat menurut apa yang telah mereka kerjakan dan agar Allah mencukupkan bagi mereka (balasan) pekerjaan-pekerjaan. Mereka tiada dirugikan".
Untuk itu, upah yang dibayarkan kepada masing-masing pegawai bisa - berbeda berdasarkan jenis pekerjaan dan tanggung jawab yang dipikulnya. Tanggungan nafkah keluarga juga bisa menentukan jumlah gaji yang diterima pegawai. Bagi yang sudah berkeluarga, gajinya 2 kali lebih besar dari pegawai yang masih lajang. Karena mereka harus menanggung nafkah orang-orang yang menjadi tanggung jawabnya, agar mereka tetap bisa memenuhi kebutuhan dan hidup dengan tayak. Rasulullah bersabda, "Barang siapa mempakerjakan seseorang, sedang is tidak memiliki rumah, maka is harus di beri rumah, clan jika is tidak memiliki istri, maka nikahkanlah, clan jika is tidak memiliki kendaraan, maka berikanlah kendaraan."
 Upah yang diberikan berdasarkan tingkat kebutuhan dan taraf kesejahteraan masyarakat setempat. Pada masa khalifah Umar r.a., gaji pegawai disesuaikan dengan tingkat kebutuhan dan kesejahteraan masyarakart setempat. Jika tingkat biaya hidub masyarakat setempat meningkat, maka upah para pegawai harus dinaikkan, sehigga mereka bisa memenuhi kebutuhan hidup. \
Khalifah Umar r.a ingin memberikan upah kepada para pegawai, walaupun mereka tidak membutuhkan gaji tersebut untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Alasannya apa yang pemah dilakukan Rasulullah terkait hdi ini. Diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar As-Sa'idi merupakan pegawai Umar r.a., akan tetapi is menofak untuk menerima gajinya. Khalifah Umar .r.a berkata tidakkah telah aku katakan bahwa engkau mengurusi persoalan kaum muslimin, tapi ketika aku bed upah, engkau menolaknya. Abdullah berkata "benar." Umar r.a berkata: "Apo yang engkau inginkan dengan hal ini?. "Abdullah menjawab, "Sebenamya saya telah memiliki beberapa kuda dan hamba sahaya, dan saya dalam kondisi baik. Saya menginginkan agar gaji saya dijadikan sebagai sedekah untuk kaum muslimin. Umar r.a. berkata, "Jangan engkau lakukan. Sesungguhnya saya juga menginginkan hat yang sama dengan kamu. Rasulullah memberikan gaji kepadaku, dan aku berkata: "Berikanlah gaji itu kepada orang yang Iebih fakir dariku." Kemudian Rasulullah bersabda, "Arnbillah gaji itu, kembangkanlah (inventasi) dan sedekahkanlah. Gaji yang engkau terima bukanlah hash meminta-minta dan israf (berlebih-lebihan), make ambillah dan janganlah memperturutkan hawa nafsumu"
Prinsip dasar yang digunakan Rasulullah SAW dan khulafaur Rasyidin adalah pertengahan, moderat dalam penentuan upah pegawai, tidak berlebihan atau tertalu sedikit (proposional). Tujuan utama pemberian upah adalah agar para pegawai mampu memenuhi segala kebutuan pokok hidup mereka. Sehingga, mereka tidak terdorong untuk melakukan tindakan yang tidak dibenarkan untuk sekadar memenuhi nafkah diri dan keluarganya (tidak korupsi). Khalifah Umar r,a. mendorong pegawainya untuk tidak terlalu hemat atas dirinya (kikir), namun mereka harus memiliki kehidupan mulia Iayaknya kebanyakan masyarakat, tanpa harus berlebih-iebihan (israf) atau kikir, sebagaimana khalifah All bin Abi Thalib r.a. memberikan wasiat kepada gubernur untuk adii dalam memberikan upah kepada pegawainya, dan tetap dalam pengawasan. Khalifah All r.a. berkata, "Kemudian sempurnakanlah gaji yang mereka terima, karena upah itu akan memberikan kekuatan bagi mereka untuk memperbaiki diri. Menjauhkan diri mereka untuk memperlakukan tindak korupsi dengan kekuasaan yang dimiliki, dan bisa dijadikan sebagai argumen jika mereka melakukan pertentangan (perlawanan) dan berkhianat kepada amanahmu."
c.       Kewajiban Negara terhadap Para Pegawainya
Apabila pihak negara yang mempekerjakan, maka seharusnya menjadi teladan bagi orang-orang yang lain dalam memenuhi gaji para pegawainya dengan cara yang baik, "Kamu tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya" (al-Baciarah: 279). Apalagi jika sumber devisanya luas dan kekayaannya banyak.
Abu Yusuf meriwayatkan bahwa: Abu Abdillah berkata kepada Umar, "Kamu telah mencemari para sahabat Rasulullah SAW dengan pekerjaanr. Lalu Umar menjawab, "Jika saya tidak meminta tolong kepada orang-orang ahli agama untuk keselamatan agamaku, maka kepada siapakah saya akan minta tolong?" Berkata Abu Abdillah, "Adapun jika engkau harus melakukan itu maka cukupkanlah upah mereka .dengan tidak berkhianat!". Artinya jika kamu memperkerjakan mereka dalam sesuatu hal maka perbanyaklah gaji dan pendapatan mereka hingga mereka tidak akan berkekurangan."
Dalam hal penetapan upah ini haws diperhatikan dua hal. Pertama: Nilai kerja itu sendiri, karena tidak mungkin disamakan antara orang yang pandai dan orang yang bodoh, orang yang cerdas dengan orang yang dungu, orang yang tekun dan orang yang !alai, orang spesialis dengan orang yang bukan spesialis, karena menyamakan antara dua orang yang berbeda adalah suatu kedzaliman, sebagaimana perbedaan antara dua orang yang sama adalah suatu kedzaliman pula. Allah SWT berfirman dalam surat az-Zumar ayat 9, "Katakanlah: adakah same orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang yang berakaltah yang dapat menerima pelajaran.
Dalam Firman-Nya yang lain yaitu surat al-An'aam ayat 132: "Dan masing-masing orang memperoleh derajat-derajat fseimbang) dengan apa yang diketjakannya." den Tuhanmu tidak lengah dad apa yang mereka kerjakan." Kedua, kebutuhan pekerja, karena ada kebutuhan-kebutuhan pokok manusia yang harus dipenuhi, baik berupa makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal, kendaraan (transportasi), pengobatan, pendidikan anak maupun segala sesuatu yang diperlukan sesuai dengan konditinya tanpa berlebih-iebihan dan tanpa kekikiran, untuk pribadi orang tersebut dan untuR orang yang menjadi tanggungannya, seperti yang diungkapkan oleh Imam Nawawi". Artinya, kecukupan itu bukan sesuatu yang statis dan bukan pula satu bentuk bagi semua orang, tetapi bagi setiap orang sesuai dengan kondisinya masing-masing. Abu Bakar berkata, “Tentukanlah untukku penghidupan (seperti penghidupan) seorang dart kalangan pertengahan orang-orang Quraisy, bukan yang tertinggi dan bukan pula yang terendah dari mereka.”
Bahkan Sunnah Nabi SAW menganggap "istri" termasuk kebutuhan seseorang, yaitu bagi yang belum punya istri, karena tidak ada kerahiban dalam Islam. Deniikran pula "pembantu" bagi orang yang tidak dapat melayani dirinya sendiri. Rasulullah SAW Bersabda, “Barang siapa menjadi seorang pekerja pada kami, maka hendaklah ia mencari seorang istri, jika ia tidak punya pembantu maka hendaklah ia mencari pembantu, jika ia tidak punya ternpat tinggat maka hendakfah ia mencari tempat tinggat” (H.R. Abu Dawud)
Kata “Amil” (pekerja) dahulu dipakai untuk seorang pegawai, dan Bahasa ini hingga sekarang masih dipakai di sebagian negara Arab. Tetapi semua hal yang disebutkan itu termasuk kebutuhan orang secara umum, kecuaii pembantu. Jadi, termasuk dalam keumuman hadits ini adalah setiap pekerja pada negara (pegawai negeri Islam).
d.      Mencukupi kebutuhan semua orang dan memberi keistimewaan kepada orang-orang yang berkualitas
Adapun kewajiban negara adalah memenuhi kebutuhan secara penuh setiap orang yang hidup dalam pengayomannya baik seorang muslim atau nonmuslim. Pertama, ciari upah kerjanya, seraya mempertimbangkan kebutuhan kennanusiaannya, selama pendapatan negara mencukupi. AI-Marwadi dalam al-ahkam as-sulthaniyah mengatakan, "penentuan tunjangan disesuaikan kebutuhan. Pemberian tunjangan bagi prang yang telah ditetapkan secara rutin (pada zaman itu) tak ubahnya seperti gaji pada zaman kita.
Setetah pemenuhan kebutuhan bagi semua pekerja negara direalisasikan, negara diberikan peluang (hak) kepada untuk membedakan orang-orang yang giat dan kreatif dari orang-orang yang malas dan awam. Ini merupakan salah satu sunatullah di dunia dan akhirat, sebagaimana firman Allah SWT dalam surat al-Kahfi ayat 30: "Sesunggunya mereka yang beriman dan beramal saleh, tentulah kami tidak akan menyia-nyiakan pahala orang-orang yang mengerlakan arnalan(nya) dengan yang baik."
Para khalifah yang bijaksana telah mengikuti jejak ini. Umar mengatakan tentang pembagian fat' dan tunjangan: "Seseorang mendapatkan tunjangan sesuai dengan pengorbanannya, seseorang mendapatkan tunjangan sesuai dengan kebutuhannya" (H.R Ahmad). All r.a. mengatakan kepada gubernur (wakil)nya di Mesir, janganlah seseorang yang berbuat baik dan orang yang berbuat jelek kedudukannya sama di sisimu karena hal ini berarti melecehkan prang yang berbuat baik dan melatih orang yang berbuat jelek untuk (terus) berbuat jelek." (Nahjul Balagahah, IV, 95).
e.       Upah jika seorang pekerja sebagai pihak berserikat (partnership)
Di dalam masyarakat sexing terjadi seorang pekerja tidak mengambil upah tertentu dari pekerjaannya, tetapi is berserikat dengan pemilik modal baik dalam keuntungan ataupun kenigian. Pada kasus demikian dalam wacana fiqih Islam dikategorikan transaksi Muzara'ah dan al Musaqat. Sistemnya yaitu is (pekerja) sebagai pihak yang berserikat dengan pemilik tanah atau pemilik kebun. Pihak yang satu menyerahkan tanah atau kebunnya, sedangkan pekerja memberikan usaha atau jerih payah, pengalaman kerjanya, kemudian hasilnya dibagi di antara keduanya sesuai kesepakatan kedua belah pihak.[13]

4.      Mengembangkan Potensi
Sumber daya manusia merupakan kekuatan terbesar dalam pengelolaan seluruh sumber yang ada dimuka bumi, karena pada dasarnya seluruh ciptaan Allah SWT yang sengaja diciptakan untuk kemaslahatan umat manusia. Islam menghendaki manusia berada pada tatanan yang tinggi. Oleh karena itu, manusia dikaruniai akal, perasaan, dan tubuh yang sempurna. Kesempurnaan tersebut dimaksudkan agar manusia menjadi individu yang dapat mengembangkan diri dan menjadi anggota masyarakat yang berdaya guna sehingga dapat mengembangkan seluruh potensi sumber daya yang dimilikinya.
Seiring dengan perkembangan zaman, kegiatan ekonomi juga mengalami perkembangan, tidak ketinggalan juga ekonomi Islam. Kegiatan ekonomi Islam memperlihatkan tanda-tanda yang cukup menggembirakan walaupun masih banyak kekurangan dan kelemahannya.[14]
Islam mendorong untuk melakukan pelatihan (training) terhadap para karyawan dengan tujuan mengembangkan kompetensi dan kemampuan dalam menjalankan tanggungjawab pekerjaannya dan pelatihan ini diutamakan bersifat Islami. Islam menegaskan bahwa pelatihan dan pengembangan mencakup mulai dari pengembangan moral, spiritual, dan pada akhirnya dimuat pada kebijakan fiskal. Pelatihan dan pengembangan harusnya mengantarkan pada peningkatan keimanan kepada Allah SWT dan untuk menambah pengetahuan dan ketrampilan pekerja.
Islam tidak hanya mendorong seseorang untuk bekerja, tetapi juga memotivasi untuk melakukan pekerjaan dengan baik dan sempurna. Seorang karyawan sebaiknya bekerja dengan segenap kemampuan, keinginan, dan kesungguhan untuk mencapai kesempurnaan dan kesuksesan mereka sendiri, lingkungan sosialnya, dan juga untuk hari akhir. Dalam Islam terdapat konsep ikhsan (keunggulan dan kebajikan) berhubungan dengan kebaikan dan sesuatu yang diperintahkan oleh Allah SWT.[15]
Penilaian kinerja adalah cara pengukuran kontribusi-kontribusi dari individu dalam instansi yang dilakukan terhadap organisasi. Seorang manajer muslim dalam bertanggungjawab menilai karyawan harus dilakukan secara adil. Menurut Ali dan Junaidah Hasyim sebagaimana yang dikutip oleh Oktania, penilaian kinerja berdasarkan Al-Qur’an evaluasi penilaian terdapat dua metode, yaitu berdasarkan pertimbangan dan berdasarkan perilaku.  Penilaian yang dilakukan secara periodik akan memberikan banyak manfaat bagi organisasi atau perusahaan karena dapat menentukan hal-hal apa saja yang dapat berjalan baik untuk jangka panjang. Dan bagi individu dapat digunakan sebagai evaluasi diri terhadap pekerjaan untuk mengetahui kesalahan yang terjadi dan mencegah hal itu terulang lagi.[16]
Islam mendorong untuk melakukan pelatihan terhadap para karyawan dengan tujuan mengembangkan kompetensi dan kemampuan dalam menjalankan tanggungjawab pekerjaannya dan pelatihan ini diutamakan bersifat Islami. Islam menegaskan bahwa pelatihan dan pengembangan mencakup mulai dari pengembangan moral, spiritual, dan pada akhirnya dimuat pada kebijakan fiskal. Pelatihan dan pengembangan harusnya mengantarkan pada peningkatan keimanan kepada Allah SWT dan untuk menambah pengetahuan dan ketrampilan pekerja.
Selain pelatihan dan pengembangan yang bersifat religiuus, perusahaan selalu memberikan motivasi dan dorongan kepada karyawan untuk senantiasa meningkatkan kualitas diri dengan baik. Motivasi tersebut tidak hanya disampaikan oleh pimpinan, supervisor atau staff perusahaan saja, tetapi juga disampaikan kepada pemuka agama yang berasal dari luar perusahaan pada saat ada acara pengajian akbar. Hal ini dilakukan perusahaan karena manusia terdiri dari jasmani dan rohani, maka dengan dilaksanakannya hal tersebut karyawan bisa bekerja dengan semangat serta memiliki kepribadian yang baik dan tanggungjawab.
Konsep pelatihan dan pengembangan yang diterapkan oleh perusahaan ini tidak hanya mengedepankan potensi dan kualitas karyawan, namun perusahaan juga memberikan pelatihan dan pengembangan berupa moral dan spiritual. Islam menegaskan bahwa pelatihan dan pengembangan harus mencakup semuanya, dimulai dari pengembangan moral dan pengembangan spiritual manusia pada akhirnya dimuat pada peningkatan keimanan kepada Allah SWT untuk menambah pengetahuan dan ketrampilan karyawan sehingga bisa menaikkan level mereka. Islam tidak hanya mendorong manusia untuk bekerja saja, tetapi juga memotivasi untuk melakukan pekerjaan dengan baik dan sempurna.
Untuk penilaian kinerja, pada perusahaan ini penilaian dibagi menjadi dua, yaitu penilaian berdasarkan hasil kerja dan penilaian dari perilaku. Penilaian di perusahaan ini dilakukan secara non formal yaitu penilaian langsung dari atasan. Penilaian kinerja menurut perusahaan menekankan pada pada keadilan dan keterbukaan pada saat penilaian. Mengenai tahapan yang dilakukan oleh perusahaan terhadap karyawan yang berprestasi dan bermasalah, untuk karyawan yang berprestasi akan mendapatkan reward dari perusahaan berupa uang. Dan untuk karyawan yang bermasalah yaitu dilakukan pembinaan atau teguran.[17]

5.      Memberikan Kepemimpinan
a.       Hakekat Kepemimpinan dalam Islam
Di dalam ajaran Islam, sesungguhnya seorang imam (pemimpin) itu diproyeksikan untuk mengambil alih pecan nubuwah (kenabian) dalam menjaga agama dan mengatur dunia. Pemberian jabatan imamah (kepemimpinan) kepada orang yang menjalankan tugas di atas pada umat adalah wajib berdasarkan ijma' ularna. Apakah kewajiban pengangkatan imam (pemimpin) itu berdasarkan akal atau syariat? Ada perbedaan pendapat dalam masalah ini.
Sekelompok prang berpendapat, pengangkatan imam (pemimpin) hukumnya wajib berdasarkan akal, sebab watak prang -prang berakal mempunyai kecenderungan untuk tunduk kepada imam (pemimpin) yang melindungi mereka dari segala bentuk ketidakadilan, memutuskan konflik dan permusuhan yang terjadi di antara mereka. Tanpa imam (pemimpin), manusia berada dalam keadaan chaos, dan menjadi.manusia-manusia yang tidak diperhitungkan bangsa lain (Al Mawardhi, 2006). Sedangkan sekelompok lain berpendapat bahwa pengangkatan imam hukumnya wajib berdasarkan syariat dan bukan berdasarkan akal. Imam bertugas mengurusi urusan-urusan agama, dan bisa jadi akal tidak mengategorikan imamah (kepemimpinan) sebagai ibadah, kemudian tidak mewajibkan imamah tersebut. Hendaknya setiap orang dari orang-orang berakal melindungi dirinya dari segala bentuk ketidakadilan, dan pemutusan hubungan. Demikian juga bertindak adil dalam pelayanan (khidmad) dan komunikasi, kemudian is bertindak dengan akalnya sendiri dan bukan dengan akal orang lain. Namun demikian syariat menghendaki bahwa segala persoalan itu harus diserahkan kepada pihak yang berwenang dalam agama. Allah SWT berfirman dalam surat An Nisa ayat 59, “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kainu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah is kepada Allah (Al (Duran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”
Pada ayat di atas, Allah SWT rnewajibkan kita menaati ulil amri di antara kita dan ulil amri yang dimaksud adalah para imam (pemimpin) yang memerintah kita. Hisyam bin Urwah meriwayatkan dari Abu Shalih dan dari Abu Hurairah, bahwa Hasulullah SAW bersabda, “Sepeninggalku akan datang kepada kalian pemimpin-pemimpin, kemudian akan datang kepada kalian pemimpin yang baik dengan membawa kebaikannya, kemudian akan datang kepada kalian pemimpin jahat dengan membawa kejahatannya. Maka dengarkan mereka, dan taatilah apa saja yang sesuai dengan kebenaran. Jika mereka berbuat baik, maka kebaikan tersebut untuk kalian dan mereka, dan jika berbuat jahat, maka kalian mendapat pahala dan mereka mendapat dosa.
b.      Karakteristik kepemimpinan Islam
Berbicara tentang karakteristik kepemimpinan Islam, tidak terlepas dari pengertian hakiki sebuah kepemimpinan, yaitu mengandung pengertian kemampuan untuk mengkoordinasi gerak tingkah laku, jasmani maupun rohani, sehingga timbul kerefaan, keikhlasan, yang dapat bertanggung jawab atas tercapaianya tujuan tertentu.
Tujuan tertentu tidak sekadar mengandung arti kuantitatif yang biasanya bersifat keuntungan material tetapi juga kualitatif yang artinya kesejahteraan rohani imaterial. Tujuan kepemimpinan dalam Islam juga tidak semata-mata demi keberhasilan organisasi, baik itu karena kepuasan bawahannya, efektivitas organisasi, pengawasan atau kontrol manajemen, dengan bahasa lain, tujuannya tidak hanya memerhatikan dimensi metafisika tetapi dimensi transedental, yaitu ridha Allah SWT. Dalam proses pencapaian tujuan tersebut harus memperhatikan aspek etika atau adab, atau syariat Allah dan Rasulullah SAW. Dalam hal ini konsep kepemimpinan harus rnempunyai syarat-syarat tertentu agar tujuan dua dimensi tersebut tercapai.
Perspektif Al Qur'an tentang karakteristik kepemimpinan, antara lain:
1.      Bertawakal
Dalam surat Al Qasash ayat 77 Allah SWT menjelaskan, "Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu-(kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dart (kertikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” Juga dalam surat Al lmran ayat 160, “Jika Allah menolong kamu, maka tak ada orang yang dapat mengalahkan kamu; jika Allah membiarkan kamu (tidak memben pertolongan), maka siapakah gerangan yang dapat menolong kamu (selain) dari Allah sesudah itu? Karena itu hendaklah kepada Allah saja orang-orang mukmin bertawakal”
2.      Berpengatahuan luas (berilmu).
Diterangkan dalam surat Al Mujadilah ayat 11: "Hai orang-orang beriman apabila dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majlis",• maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untukrnu. Dan apabila dikatakan: "Berdidah kamu", maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang badman di antaramu dan orang-orang yang diberi dmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
3.      Adil, jujur dan konsekuen
Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat An Nisa ayat 58, "Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang bethak menerimanya, clan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah member' pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha Melihat." Juga dalam surat Al Maidah ayat 8: "Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak add. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
4.      Suka bermusyawarah
Dalam surat All lmran ayat 159 Allah SWT menerangkan: "Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan din dad sekelilingmu. Karena itu ma'atkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dart bermusyawaratlah dengan mereka dalarn urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya.”
5.      Bertanggung Jawab
Allah SWT menjelaskan dalam surat Al An'am ayat 164, “Katakanlah: apakah aku akan mencari Tuhan selain Allah, padahal dia adalah Tuhan bagi segala sesuatu. dan tidakiah seorang membuat dose melainkan kemudharatannya kembali kepada dirinya sendiri; dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa prang lain. Kemudian kepada Tuhanmulah kamu kembali, dan akan diberitakan-Nya kepadamu apa yang kamu perselisihkan”
6.      Suka berbuat kebaikan
Allah SWT menerangkan dalam surat Al Baciarah ayat 195, "Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.”
7.      Memberi peringatan kepada kebaikan
Allah SWT rnenjelaskan dalam surat Az Zariyat ayat 55: "Dan tetaplah member' peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu berrnanfaat bagi orang-orang yang beriman." Dalam surat at lmran 110: "Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma,tuf, dan mencegah dart yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.”
8.      Risau terhadap umat Islam
Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat At Taubah ayat 128: “Sungguh Telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat betas kasihan lagi Penyayang terhadap orang-orang mukmin.”
c.       Syarat-syarat kepemimpinan Islam
Dalam Islam, selain dibahas karakeristik atau sifat kepemimpinan juga diajarkan syarat-syarat menjadi pemimpin. Hal ini ada mengingat betapa pentingnya seorang pemimpin dan dengan syarat-syarat tersebut menghasilkan kepemimpinan yang menciptakan keadifan dan kesejahteraan bagi umat Islam. [18]


B.     PENUTUP
1.      Kesimpulan
Manajemen Sumber Daya Insani, disingkat MSDM, adalah suatu ilmu atau cara mengatur hubungan dan peranan sumber daya (tenaga kerja) yang dimiliki oleh individu secara efisien dan efektif serta dapat digunakan secara maksimal sehingga tercapai tujuan (goal) bersama perusahaan, karyawan dan masyarakat menjadi maksimal.
Kebutuhan akan Sumber Daya Insani dimasa depan ditentukan oleh sasaran dan strategi organisasi. Permintaan akan karyawan merupakan hasil dari permintaan akan jasa atau produk organisasi itu.
Islam mendorong untuk melakukan pelatihan (training) terhadap para karyawan dengan tujuan mengembangkan kompetensi dan kemampuan dalam menjalankan tanggungjawab pekerjaannya dan pelatihan ini diutamakan bersifat Islami. Islam menegaskan bahwa pelatihan dan pengembangan mencakup mulai dari pengembangan moral, spiritual, dan pada akhirnya dimuat pada kebijakan fiskal.
Pendelegasian wewenang ini tercermin dalam pemerintahan Umar r.a. Suatu ketika masyarakat mengadukan kepemimpinan Iyadh bin Ghanm dalam pengelolaan harta Baitul mal, Beliau memperluas pemberian harta baitul mat, sehingga hanya tersisa sedikit daripada Khalid bin Walid. Khalifah Umar r.a. kemudian berkata, "Ini merupakan tugas dan tanggung jawab Abu Ubaidah at Jarrah. Tugas untuk mengawasi dan mengaudit keuangan Baitul mal menjadi tugas dan wewenang Abu Ubaidah at Jarrah.
Sumber daya manusia merupakan kekuatan terbesar dalam pengelolaan seluruh sumber yang ada dimuka bumi, karena pada dasarnya seluruh ciptaan Allah SWT yang sengaja diciptakan untuk kemaslahatan umat manusia. Islam menghendaki manusia berada pada tatanan yang tinggi. Oleh karena itu, manusia dikaruniai akal, perasaan, dan tubuh yang sempurna. Kesempurnaan tersebut dimaksudkan agar manusia menjadi individu yang dapat mengembangkan diri dan menjadi anggota masyarakat yang berdaya guna sehingga dapat mengembangkan seluruh potensi sumber daya yang dimilikinya.
2.      Saran
Penulis menyadari makalah ini masih banyak kekurangan, maka dari itu penulis mengharapakan kritik dan saran dari pembaca sebagai pedoman penulisan makalah yang lebih baik kedepannya.


DAFTAR PUSTAKA

H. Ali Hardana, Manajemen Sumber Daya Insani, Jurnal: AL-MASHARIF, Volume 3, No. 1, Januari-Juni 2015.

Muhamad Mustaqim, Prinsip Syariah Dalam Manajemen Sumber Daya Manusia (Studi atas Implementasi Manajemen Sumber Daya Manusia UMKM di Kudus), Jurnal Penelitian, Vol. 10, No. 2, Agustus 2016.

Nadya Amira Husna dan Nur Aini Latifah, Penerapan Prinsip Manajemen Sumber Daya Insani di Kampung Cokelat Blitar, Jurnal: Iqtisaduna, Volume 4 Nomor 1 Ed. Juni 2018.

Lukman Hakim, 2012,  Prinsip-Prinsip Ekonomi Islam, Jakarta: Erlangga.



iii
 


[1] H. Ali Hardana, Manajemen Sumber Daya Insani, Jurnal: AL-MASHARIF, Volume 3, No. 1, Januari-Juni 2015, h. 115-116
[2] Nadya Amira Husna dan Nur Aini Latifah, Penerapan Prinsip Manajemen Sumber Daya Insani di Kampung Cokelat Blitar, Jurnal: Iqtisaduna, Volume 4 Nomor 1 Ed. Juni 2018, h. 31
[3] H. Ali Hardana, Manajemen Sumber Daya Insani, Jurnal: AL-MASHARIF, Volume 3, No. 1, Januari-Juni 2015, h. 116
[4] H. Ali Hardana, Manajemen Sumber Daya Insani, Jurnal: AL-MASHARIF, Volume 3, No. 1, Januari-Juni 2015, h. 117
[5] Muhamad Mustaqim, Prinsip Syariah Dalam Manajemen Sumber Daya Manusia (Studi atas Implementasi Manajemen Sumber Daya Manusia UMKM di Kudus), Jurnal Penelitian, Vol. 10, No. 2, Agustus 2016, h. 404
[6] Muhamad Mustaqim, Prinsip Syariah Dalam Manajemen Sumber Daya Manusia (Studi atas Implementasi Manajemen Sumber Daya Manusia UMKM di Kudus), Jurnal Penelitian, Vol. 10, No. 2, Agustus 2016, h. 416
[7] H. Ali Hardana, Manajemen Sumber Daya Insani, Jurnal: AL-MASHARIF, Volume 3, No. 1, Januari-Juni 2015, h. 118
[8] H. Ali Hardana, Manajemen Sumber Daya Insani, Jurnal: AL-MASHARIF, Volume 3, No. 1, Januari-Juni 2015, h. 122-123
[9] Muhamad Mustaqim, Prinsip Syariah Dalam Manajemen Sumber Daya Manusia (Studi atas Implementasi Manajemen Sumber Daya Manusia UMKM di Kudus), Jurnal Penelitian, Vol. 10, No. 2, Agustus 2016, h. 418
[10] Nadya Amira Husna dan Nur Aini Latifah, Penerapan Prinsip Manajemen Sumber Daya Insani di Kampung Cokelat Blitar, Jurnal: Iqtisaduna, Volume 4 Nomor 1 Ed. Juni 2018, h. 36
[11] Nadya Amira Husna dan Nur Aini Latifah, Penerapan Prinsip Manajemen Sumber Daya Insani di Kampung Cokelat Blitar, Jurnal: Iqtisaduna, Volume 4 Nomor 1 Ed. Juni 2018, h. 36-37
[12] Lukman Hakim, Prinsip-Prinsip Ekonomi Islam, (Jakarta: Erlangga, 2012), h.  201
[13] Lukman Hakim, Prinsip-Prinsip Ekonomi Islam, (Jakarta: Erlangga, 2012), h.  202-206
[14] Nadya Amira Husna dan Nur Aini Latifah, Penerapan Prinsip Manajemen Sumber Daya Insani di Kampung Cokelat Blitar, Jurnal: Iqtisaduna, Volume 4 Nomor 1 Ed. Juni 2018, h. 33
[15] Nadya Amira Husna dan Nur Aini Latifah, Penerapan Prinsip Manajemen Sumber Daya Insani di Kampung Cokelat Blitar, Jurnal: Iqtisaduna, Volume 4 Nomor 1 Ed. Juni 2018, h. 37
[16] Nadya Amira Husna dan Nur Aini Latifah, Penerapan Prinsip Manajemen Sumber Daya Insani di Kampung Cokelat Blitar, Jurnal: Iqtisaduna, Volume 4 Nomor 1 Ed. Juni 2018, h. 37-38
[17] Nadya Amira Husna dan Nur Aini Latifah, Penerapan Prinsip Manajemen Sumber Daya Insani di Kampung Cokelat Blitar, Jurnal: Iqtisaduna, Volume 4 Nomor 1 Ed. Juni 2018, h. 42-43
[18] Lukman Hakim, Prinsip-Prinsip Ekonomi Islam, (Jakarta: Erlangga, 2012), h.  207-210

Komentar

Postingan Populer