Etika Dalam Bisnis SDI
Bab 8
A.
Peran SDI
Manajemen Sumber Daya Insani,
disingkat MSDM, adalah suatu ilmu atau cara mengatur hubungan dan peranan
sumber daya (tenaga kerja) yang dimiliki oleh individu secara efisien dan
efektif serta dapat digunakan secara maksimal sehingga tercapai tujuan (goal)
bersama perusahaan, karyawan dan masyarakat menjadi maksimal.
Sumber Daya Insani merupakan
kekuatan terbesar dalam pengolahan seluruh sumber daya yang ada di muka bumi.
Manusia diciptakan oleh Allah swt. sebagai khalifah di bumi untuk mengelola
bumi dan sumber daya yang ada di dalamnya demi kesejahteraan manusia sendiri,
makhluk dan seluruh alam semesta, karena pada dasarnya seluruh ciptaan Allah
yang ada di muka bumi ini sengaja diciptakan oleh Allah untuk kemaslahatan umat
manusia. Hal ini sangat jelas ditegaskan oleh Allah dalam al-Quran surat
al-Jatsiyah ayat 13: “Dan Dia telah
menundukkan untukmu apa yang di langit dan apa yang di bumi semuanya, (sebagai
rahmat) daripada-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat
tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berfikir”.
Manajemen Sumber Daya Insani
didasari pada suatu konsep bahwa setiap karyawan adalah manusia bukan mesin dan
bukan semata menjadi sumber daya bisnis. Kajian manajemen Sumber Daya Insani
menggabungkan beberapa bidang ilmu seperti psikologi, sosiologi, dan lain
sebagainya.
Unsur manajemen Sumber Daya
Insani adalah manusia. Manajemen Sumber Daya Insani juga menyangkut desain dan
implementasi sistem perencanaan, penyusunan karyawan, pengembangan karyawan,
pengelolaan karier, evaluasi kinerja, kompensasi karyawan dan hubungan ketenagakerjaan
yang baik. Manajemen Sumber Daya Insani melibatkan semua keputusan dan praktek
manajemen yang mempengaruhi secara lansung Sumber Daya Insaninya. [1]
Keberlangsungan organisasi
tidak lepas dari peran manajemen karena melalui manajemen yang baik dapat
menghasilkan organisasi sesuai dengan harapan dan tujuan organisasiitu. Semua
organisasi, baik yang berbentuk badan usaha ataupun badan yang bersifat publik,
tentu mempunyai suatu tujuan sendiri-sendiri yang merupakan motivasi dari
pendiriannya.
Pentingnya manajemen sumber
daya manusia telah didasari oleh semua pihak karena manajemen sumber daya
manusia telah menjadi kebutuhan pokok perusahaan atau lembaga. Manajemen pada
dasarnya dibutuhkan oleh semua organisasi karena tanpa manajemen, semua usaha
ataupun kegiatan untuk mencapai suatu tujuan akan sia-sia belaka. Sumber daya
manusia merupakan modal dan kekayaan yang terpenting dari setiap kegiatan
manusia. Manusia sebagai unsur terpenting mutlak dianalisis dan dikembangkan
dengan cara tersebut, waktu, tenaga dan kemampuannya benar-benar dapat
dimanfaatkan secara optimalbagi kepentingan organisasi maupun bagi individu.
Hubungan manajemen dengan sumber daya manusia merupakan proses usaha pencapaian
tujuan melalui kerja sama dengan orang lain. Ini berarti menunjukkan
pemanfaatan sumber daya manusia untuk mencapai tujuan organisasi. Mei Sulastri
Sonya Aziziyah, menganalisis bahwa peran pemilik perusahaan terhadap proses
manajemen sumber daya manusia berbasis Islam telah berjalan cukup maksismal.[2]
Manajemen Sumber Daya Insani
diperlukan untuk meningkatkan efektivitas Sumber Daya Insani dalam organisasi.
Tujuannya adalah memberikan kepada organisasi satuan kerja yang efektif. Untuk
mencapai tujuan ini, studi tentang manajemen personalia akan menunjukkan
bagaimana seharusnya perusahaan mendapatkan, mengembangkan, menggunakan,
mengevaluasi, dan memelihara karyawan dalam jumlah (kuantitas) dan tipe
(kualitas) yang tepat.
Manajemen Sumber Daya Insani
adalah suatu proses menangani berbagai masalah pada ruang lingkup karyawan,
pegawai, buruh, manajer dan tenaga kerja lainnya untuk dapat menunjang
aktivitas organisasi atau perusahaan demi mencapai tujuan yang telah
ditentukan. Bagian atau unit yang biasanya mengurusi SDM adalah departemen
Sumber Daya Insani atau dalam bahasa inggris disebut HRD atau human resource
department. Manajemen Sumber Daya Insani adalah ilmu dan seni mengatur hubungan
dan peranan tenaga kerja agar efektif dan efisien membantu terwujudnya tujuan
perusahaan, karyawan dan masyarakat.[3]
Mengapa Manajemen Sumber Daya
Insani penting? karena praktik kerja berkinerja tinggi, praktik yang
menghasilkan kinerja individu dan organisasi yang tinggi, contoh: 1) Tim-tim
kerja yang mengarahkan diri sendiri, 2) Rotasi jabatan, 3) Pelatihan
keterampilan yang tinggi tingkatannya, 4) Kelompok-kelompok pemecah masalah, 5)
Proses dan prosedur manajemen mutu dan terpadu (total quality managemen), 6)
Mendorong perilaku yang inovatif dan kreatif, 7) Keterlibatan dan pelatihan
karyawan secara luas, 8) Pelaksanaan saran-saran karyawan, 9) Upah berubah-ubah
berdasarkan perubahan kinerja, 10) Pelatihan dan pembinaan, 11) Banyak sekali
berbagi informasi, 12) Menggunakan survei sikap karyawan, 13) Integrasi lintas
fungsi, 14) Prosedur perekrutan dan seleksi karyawan yang menyeluruh.[4]
1.
Prinsip-Prinsip Saling
Membutuhkan
Urgensi sumber daya manusia
ini, perlu disadari oleh semua tingkatan manajemen. Bagaimanapun majunya
teknologi saat ini, namun faktor manusia tetap memegang peranan penting bagi
keberhasilan suatu organisasi. Sehingga, seberapa hebat organisasi, secanggih
apapun teknologi yang digunakan, seunggul apapun metode kepemimpinannya, tetap
saja membutuhkan manusia sebagai pengelolanya.[5]
Secara umum sistem rekrutmen
yang dilakukan sangatlah sederhana. Pada saat perusahaan membutuhkan tenaga
kerja atau pegawai baru, maka pemilik membuat pengumuman sederhana yang
ditempel pada bagian luar gedung perusahaan. Selain itu, pemilik juga
menginformasikan kepada semua pegawai tentang rekrutmen ini. Sehingga informasi
ini kemudian tersebar dari mulut ke mulut. Tidak jarang, pegawai yang masuk
biasanya merupakan referensi dari pegawai lama yang ada di perusahaan tersebut.[6]
Kebutuhan akan Sumber Daya
Insani dimasa depan ditentukan oleh sasaran dan strategi organisasi. Permintaan
akan karyawan merupakan hasil dari permintaan akan jasa atau produk organisasi
itu.[7]
Insentif sebagai sarana
motivasi yang mendorong para pegawai untuk bekerja dengan kemampuan yang
optimal, yang dimaksudkan sebagai pendapatan ekstra di luar gaji atau upah yang
telah di tentukan. Pemberian insentif dimaksudkan agar dapat memenuhi kebutuhan
para pegawai dan keluarga mereka. Istilah sistem insentif pada umumnya
digunakan untuk menggambarkan rencana - rencana pembayaran upah yang dikaitkan
secara langsung atau tidak langsung dengan berbagai standar kinerja pegawai
atau profitabilitas organisasi.
Insentif dapat dirumuskan
sebagai balas jasa yang memadai kepada pegawai yang prestasinya melebihi
standar yang telah ditetapkan. Insentif merupakan suatu faktor pendorong bagi
pegawai untuk bekerja lebih baik agar kinerja pegawai dapat meningkat.
Dari pengertian di atas untuk
lebih jelas tentang insentif, di bawah ini ada beberapa ahli manajemen
mengemukakan pengertian mengenai insentif. Insentif adalah tambahan balas jasa
yang diberikan kepada karyawan tertentu yang prestasinya di atas prestasi
standar. Insentif ini merupakan alat yang di pergunakan pendukung prinsip adil
dalam pemberian kompensasi. Insentif merupakan imbalan langsung yang dibayarkan
kepada karyawan karena prestasi melebihi standar yang ditentukan. Dengan
mengasumsikan bahwa uang dapat mendorong karyawan bekerja lebih giat lagi, maka
mereka yang produktif lebih menyukai gajinya dibayarkan berdasarkan hasil
kerja. Atau pengertian lain Insentif adalah suatu bentuk motivasi yang
dinyatakan dalam bentuk uang atas dasar kinerja yang tinggi dan juga merupakan
rasa pengakuan dari pihak organisasi terhadap kinerja karyawan dan kontribusi
terhadap organisasi (perusahaan).
Para manajer harus menyusun
sistem insentif yang mencerminkan sifat pekerjaan dan tempat kerja yang
berubah-ubah supaya senantiasa mampu memotivasi karyawan. Insentif organisasi
dapat mencakup banyak macam imbalan dan tunjangan yang berbeda-beda seperti
upah dan gaji pokok, upah serta gaji tambahan, upah insentif, dan tunjangan
serta jasa lainnya
Salah satu alasan pentingnya
pembayaran insentif karena adanya ketidaksesuaian tingkat kompensasi yang
dibayarkan kepada eksekutif dengan pekerja lain. Program insentif adalah salah
satu cara untuk memungkinkan seluruh pekerja merasakan bersama kemakmuran
perusahaan.[8]
Pengembangan SDM merupakan
wahana untuk membekali pegawai atau SDM degan beberapa ketrampilan yang relevan
bagi organiasasi. Program ini biasanya dilakukan melalui pelatihan dan
upgrading bagi SDM. Pada kenyataannya, pelatihan pegawai baru dilakukan dengan
sistem on the job training, yakni bentuk pelatihan yang secara langsung dalam
situasi kerja. Pegawai baru biasanya didampingi oleh senior untuk membimbing
bagaimana standar pekerjaan yang biasanya dilakukan. Sambil melaksanakan kerja,
karyawan secara berkala didampingi-sekaligus diawasi-oleh senior yang telah
ditentukan. Sehingga kinerja yang diinginkan oleh perusahaan bisa dipenuhi oleh
pegawai baru tersebut.
Pada pegawai bidang menjahit,
biasanya pegawai diminta untuk membuat satu jenis pakaian yang ditentukan
sampai jadi. Hasilnya kemudian dinilai oleh senior, dan kemudian diberi saran
dan masukan dalam kaitannya dengan kerja menjahit ini. Sejauh ini program
pelatihan secara khusus memang belum pernah dilakukan. Hal ini mengingat jenis
pekerjaan yang sederhana dan juga membutuhkan ketrampilan yang cukup sederhana,
sehingga program upgrading dirasa kurang begitu relevan.[9]
2.
Merumuskan Pekerjaan Dan
Tanggung Jawab
Bagi manajer muslim sangat
perlu untuk memahami tuntunan dalam Al-Qur’an yang dapat mencegah penerimaan
yang tidak jelas dan nepotisme dan untuk mencegah diskriminasi dalam tempat
kerja. Dalam manajemen berbasis syariah keahlian saja tidak cukup. Jadi harus
diimbangi dengan etos kerja dan tanggungjawab yang tinggi. Maka setiap muslim
dalam beraktivitas apapun harus dilakukan dengan cara yang professional. Yang
dimaksudkan professional menurut Islam dicirikan oleh tiga hal yaitu Ahliyah
(keahlian), Himmatul ‘Amal (etos kerja tinggi), dan Amanah (terpercaya dan
bertanggungjawab).[10]
Pelatihan adalah proses
sistematik pengubahan perilaku para pegawai dalam suatu arah guna meningkatkan
tujuan-tujuan organisasional. Sedangkan pengembangan adalah sebagai penyiapan
individu untuk memikul tanggungjawab yang berbeda atau yang lebih tinggi di
dalam organisasi. Pengembangan biasanya berhubungan dengan peningkatan
kemampuan intelektual atau emosional yang diperlukan untuk menunaikan
pekerjaaan yang lebih baik. Pelatihan dan pengembangan itu penting karena
keduanya merupakan cara yang digunakan oleh organisasi atau perusahaan untuk
mempertahankan, menjaga dan memelihara pegawai publik dalam organisasi
sekaligus meningkatkan keahlian para pegawai untuk kemudian dapat meningkatkan
produktivitasnya.
Pengembangan SDM lebih
terfokus ke jangka panjang. Melalui program pengembangan akan mengurangi
ketergantungan organisasi terhadap adanya program pengangkatan karyawan baru,
karena program pengembangan semata-mata untuk memberdayakan karyawan dalam
organisasi untuk jangka panjang. Dalam hal ini organisasi atau perusahaan
selalu berupaya untuk mendapatkan sumber daya manusia yang berkualitas guna
menunjang efektivitas kegiatan dalam perusahaan. Upaya tersebut dapat berupa program
pelatihan dan pengembangan yang di rencanakan.
Islam mendorong untuk
melakukan pelatihan (training) terhadap para karyawan dengan tujuan
mengembangkan kompetensi dan kemampuan dalam menjalankan tanggungjawab
pekerjaannya dan pelatihan ini diutamakan bersifat Islami. Islam menegaskan
bahwa pelatihan dan pengembangan mencakup mulai dari pengembangan moral,
spiritual, dan pada akhirnya dimuat pada kebijakan fiskal. Pelatihan dan
pengembangan harusnya mengantarkan pada peningkatan keimanan kepada Allah SWT
dan untuk menambah pengetahuan dan ketrampilan pekerja.
Islam tidak hanya mendorong
seseorang untuk bekerja, tetapi juga memotivasi untuk melakukan pekerjaan
dengan baik dan sempurna. Seorang karyawan sebaiknya bekerja dengan segenap
kemampuan, keinginan, dan kesungguhan untuk mencapai kesempurnaan dan
kesuksesan mereka sendiri, lingkungan sosialnya, dan juga untuk hari akhir.
Dalam Islam terdapat konsep ikhsan (keunggulan dan kebajikan) berhubungan
dengan kebaikan dan sesuatu yang diperintahkan oleh Allah SWT.[11]
3.
Pendelegasisan Wewenang
Memberikan Kontra Prestasi
Konsep syura yang ditentukan
Allah dalam mengatur persoalan hidup kaum muslimin, bukan berarti memberikan
wewenang (kekuasaan) mutlak di tangan khalifah dan pemimpin. Sebagai
konsekuensi adanya konsep syura, wewenang terkait dengan keputusan bersama akan
didelegasikan kepada para pembantu dan pegawai khalifah.
Konsep syura yang ditentukan
Allah dalam mengatur persoalan hidup kaum muslimin, bukan berarti memberikan
wewenang (kekuasaan) mutlak di tangan khalifah dan pemimpin. Sebagai
konsekuensi adanya konsep syura, wewenang terkait dengan keputusan bersama akan
didelegasikan kepada para pembantu dan pegawai khalifah. Khalifah
mendeiegasikan wewenang kepada walinya (gubernur) untuk mengatur wilayah yang
dikuasainya, sebagaimana khalifah juga mendelegasikan wewenang kepada
pembantunya di sentral pemerintahan.
Pendelegasian wewenang ini
tercermin dalam pemerintahan Umar r.a. Suatu ketika masyarakat mengadukan
kepemimpinan Iyadh bin Ghanm dalam pengelolaan harta Baitul mal, Beliau
memperluas pemberian harta baitul mat, sehingga hanya tersisa sedikit daripada
Khalid bin Walid. Khalifah Umar r.a. kemudian berkata, "Ini merupakan
tugas dan tanggung jawab Abu Ubaidah at Jarrah. Tugas untuk mengawasi dan mengaudit
keuangan Baitul mal menjadi tugas dan wewenang Abu Ubaidah at Jarrah.
Setiap pemimpin dan gubemur
suatu wilayah memiliki wewenang untuk mengatur dan mengelola daerah kekuasaan
masing-masing. Akan tetapi, pendelegasian wewenang ini bukan berarti khalifah
tidak memiliki hak untuk melakukan intervensi atau pendapat kepada mereka.
Khalifah tetap memiliki hak untuk melakukan pengawasan dan audit, terutama
ketika wewenang itu disalahgunakan. Contoh bentuk pendelegasian wewenang mutlak
adalah apa yang dilakukan Khalid bin Walid dalam membuat perjanjian dengan
Persia. Perjanjian Annr bin Ash dengan Mukauclis seorang penguasa Mesir tanpa
harus merujuk kepada khalifah. Para pemimpin tersebut memiliki wewenang mutlak.[12]
1.
Kebijakan Upah Yang Adil
a. Penentuan Upah
Rasulullah SAW memberikan
contoh yang harus dijalankan kaum muslinnirt setetahnya, yakni, penentuan upah
bagi pars pegawai sebelum mereka mulai menjalankan pekerjaannya. Rasulullah SAW
bersabda "Barang siapa mernpekedakan seorang pekerja, maka harus disebutkan
upahnya." Rasulullah memberikan petunjuk bahwa dengan memberikan informasi
gaji yang akan diterima, diharapkan akan memberikan dorongan semangat bagi
pekerja untuk memulai pekerjaan, dan memberikan ketenangan. Mereka akan
menjalankan tugas pekerjaan sesuai dengan kesepakatan kontrak kerja dengan
majikan.
Selain itu, Rasulullah juga
mendorong para majikan untuk nnembayarkan upah para pekerja ketika mereka telah
usai menunaikan tugasnya. Rasulullah bersabda, "Berikanlah upah pekerja
sebelum keringatnya kering." (RR lbnu Majah dari Umar, Abu Ya'ta dan Abu
Huraira.h). Ketentuan ini untuk menghilangkan keraguan pekerja atau
kekhawatirannya bahwa upah mereka akan dibayarkan. atau akan mengalami
keteriambatan tanpa adanya alasan yang dibenarkan. Namun demikian, umat Islam
diberikan kebebasan untuk menentukan waktu pembayaran upah sesuai dengan
kesepakatan antara pekerja dengan yang memperkerjakan. Demikian juga upah yang
dibayarkan kepada para pekerja boleti dibayarkan berupa uang, barang, atau
binatang (temak). Sebagaimana satu riwayat bahwa Umar bin Khattab pernah
memberikan upah kepada gubemur Himsha yaitu iyad bin Ghanam berupa uang satu
dinar, satu ekor domba dan satu mud kurma setiap hari.
b. Dasar Penentuan Upah
Upah ditentukan berdasarkan
jenis pekerjaan, ini merupakan asas pemberian upah sebagaimana ketentuan yang
dinyatakan Allah dalam firmannya pada surat at Ahqaf ayat 19, 'Van bagi
masing-masing mereka derajat menurut apa yang telah mereka kerjakan dan agar
Allah mencukupkan bagi mereka (balasan) pekerjaan-pekerjaan. Mereka tiada
dirugikan".
Untuk itu, upah yang
dibayarkan kepada masing-masing pegawai bisa - berbeda berdasarkan jenis
pekerjaan dan tanggung jawab yang dipikulnya. Tanggungan nafkah keluarga juga
bisa menentukan jumlah gaji yang diterima pegawai. Bagi yang sudah berkeluarga,
gajinya 2 kali lebih besar dari pegawai yang masih lajang. Karena mereka harus
menanggung nafkah orang-orang yang menjadi tanggung jawabnya, agar mereka tetap
bisa memenuhi kebutuhan dan hidup dengan tayak. Rasulullah bersabda, "Barang siapa mempakerjakan seseorang, sedang
is tidak memiliki rumah, maka is harus di beri rumah, clan jika is tidak
memiliki istri, maka nikahkanlah, clan jika is tidak memiliki kendaraan, maka
berikanlah kendaraan."
Upah yang diberikan berdasarkan tingkat
kebutuhan dan taraf kesejahteraan masyarakat setempat. Pada masa khalifah Umar
r.a., gaji pegawai disesuaikan dengan tingkat kebutuhan dan kesejahteraan
masyarakart setempat. Jika tingkat biaya hidub masyarakat setempat meningkat,
maka upah para pegawai harus dinaikkan, sehigga mereka bisa memenuhi kebutuhan
hidup. \
Khalifah Umar r.a ingin
memberikan upah kepada para pegawai, walaupun mereka tidak membutuhkan gaji
tersebut untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Alasannya apa yang pemah dilakukan
Rasulullah terkait hdi ini. Diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar As-Sa'idi
merupakan pegawai Umar r.a., akan tetapi is menofak untuk menerima gajinya.
Khalifah Umar .r.a berkata tidakkah telah aku katakan bahwa engkau mengurusi
persoalan kaum muslimin, tapi ketika aku bed upah, engkau menolaknya. Abdullah
berkata "benar." Umar r.a berkata: "Apo yang engkau inginkan
dengan hal ini?. "Abdullah menjawab, "Sebenamya saya telah memiliki
beberapa kuda dan hamba sahaya, dan saya dalam kondisi baik. Saya menginginkan
agar gaji saya dijadikan sebagai sedekah untuk kaum muslimin. Umar r.a.
berkata, "Jangan engkau lakukan. Sesungguhnya saya juga menginginkan hat
yang sama dengan kamu. Rasulullah memberikan gaji kepadaku, dan aku berkata:
"Berikanlah gaji itu kepada orang yang Iebih fakir dariku." Kemudian
Rasulullah bersabda, "Arnbillah gaji
itu, kembangkanlah (inventasi) dan sedekahkanlah. Gaji yang engkau terima
bukanlah hash meminta-minta dan israf (berlebih-lebihan), make ambillah dan
janganlah memperturutkan hawa nafsumu"
Prinsip dasar yang digunakan
Rasulullah SAW dan khulafaur Rasyidin adalah pertengahan, moderat dalam
penentuan upah pegawai, tidak berlebihan atau tertalu sedikit (proposional).
Tujuan utama pemberian upah adalah agar para pegawai mampu memenuhi segala
kebutuan pokok hidup mereka. Sehingga, mereka tidak terdorong untuk melakukan
tindakan yang tidak dibenarkan untuk sekadar memenuhi nafkah diri dan
keluarganya (tidak korupsi). Khalifah Umar r,a. mendorong pegawainya untuk
tidak terlalu hemat atas dirinya (kikir), namun mereka harus memiliki kehidupan
mulia Iayaknya kebanyakan masyarakat, tanpa harus berlebih-iebihan (israf) atau
kikir, sebagaimana khalifah All bin Abi Thalib r.a. memberikan wasiat kepada
gubernur untuk adii dalam memberikan upah kepada pegawainya, dan tetap dalam
pengawasan. Khalifah All r.a. berkata, "Kemudian sempurnakanlah gaji yang
mereka terima, karena upah itu akan memberikan kekuatan bagi mereka untuk
memperbaiki diri. Menjauhkan diri mereka untuk memperlakukan tindak korupsi dengan
kekuasaan yang dimiliki, dan bisa dijadikan sebagai argumen jika mereka
melakukan pertentangan (perlawanan) dan berkhianat kepada amanahmu."
c. Kewajiban Negara terhadap Para
Pegawainya
Apabila pihak negara yang
mempekerjakan, maka seharusnya menjadi teladan bagi orang-orang yang lain dalam
memenuhi gaji para pegawainya dengan cara yang baik, "Kamu tidak
menganiaya dan tidak pula dianiaya" (al-Baciarah: 279). Apalagi jika
sumber devisanya luas dan kekayaannya banyak.
Abu Yusuf meriwayatkan bahwa:
Abu Abdillah berkata kepada Umar, "Kamu telah mencemari para sahabat
Rasulullah SAW dengan pekerjaanr. Lalu Umar menjawab, "Jika saya tidak
meminta tolong kepada orang-orang ahli agama untuk keselamatan agamaku, maka
kepada siapakah saya akan minta tolong?" Berkata Abu Abdillah,
"Adapun jika engkau harus melakukan itu maka cukupkanlah upah mereka
.dengan tidak berkhianat!". Artinya jika kamu memperkerjakan mereka dalam
sesuatu hal maka perbanyaklah gaji dan pendapatan mereka hingga mereka tidak
akan berkekurangan."
Dalam hal penetapan upah ini
haws diperhatikan dua hal. Pertama: Nilai kerja itu sendiri, karena tidak
mungkin disamakan antara orang yang pandai dan orang yang bodoh, orang yang
cerdas dengan orang yang dungu, orang yang tekun dan orang yang !alai, orang
spesialis dengan orang yang bukan spesialis, karena menyamakan antara dua orang
yang berbeda adalah suatu kedzaliman, sebagaimana perbedaan antara dua orang
yang sama adalah suatu kedzaliman pula. Allah SWT berfirman dalam surat
az-Zumar ayat 9, "Katakanlah: adakah same orang-orang yang mengetahui
dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang yang
berakaltah yang dapat menerima pelajaran.
Dalam Firman-Nya yang lain
yaitu surat al-An'aam ayat 132: "Dan masing-masing orang memperoleh derajat-derajat
fseimbang) dengan apa yang diketjakannya." den Tuhanmu tidak lengah dad
apa yang mereka kerjakan." Kedua, kebutuhan pekerja, karena ada
kebutuhan-kebutuhan pokok manusia yang harus dipenuhi, baik berupa makanan,
minuman, pakaian, tempat tinggal, kendaraan (transportasi), pengobatan,
pendidikan anak maupun segala sesuatu yang diperlukan sesuai dengan konditinya
tanpa berlebih-iebihan dan tanpa kekikiran, untuk pribadi orang tersebut dan
untuR orang yang menjadi tanggungannya, seperti yang diungkapkan oleh Imam
Nawawi". Artinya, kecukupan itu bukan sesuatu yang statis dan bukan pula
satu bentuk bagi semua orang, tetapi bagi setiap orang sesuai dengan kondisinya
masing-masing. Abu Bakar berkata, “Tentukanlah untukku penghidupan (seperti penghidupan)
seorang dart kalangan pertengahan orang-orang Quraisy, bukan yang tertinggi dan
bukan pula yang terendah dari mereka.”
Bahkan Sunnah Nabi SAW
menganggap "istri" termasuk kebutuhan seseorang, yaitu bagi yang
belum punya istri, karena tidak ada kerahiban dalam Islam. Deniikran pula
"pembantu" bagi orang yang tidak dapat melayani dirinya sendiri.
Rasulullah SAW Bersabda, “Barang siapa menjadi seorang pekerja pada kami, maka
hendaklah ia mencari seorang istri, jika ia tidak punya pembantu maka hendaklah
ia mencari pembantu, jika ia tidak punya ternpat tinggat maka hendakfah ia
mencari tempat tinggat” (H.R. Abu Dawud)
Kata “Amil” (pekerja) dahulu
dipakai untuk seorang pegawai, dan Bahasa ini hingga sekarang masih dipakai di
sebagian negara Arab. Tetapi semua hal yang disebutkan itu termasuk kebutuhan
orang secara umum, kecuaii pembantu. Jadi, termasuk dalam keumuman hadits ini
adalah setiap pekerja pada negara (pegawai negeri Islam).
d. Mencukupi kebutuhan semua
orang dan memberi keistimewaan kepada orang-orang yang berkualitas
Adapun kewajiban negara adalah
memenuhi kebutuhan secara penuh setiap orang yang hidup dalam pengayomannya baik
seorang muslim atau nonmuslim. Pertama, ciari upah kerjanya, seraya
mempertimbangkan kebutuhan kennanusiaannya, selama pendapatan negara mencukupi.
AI-Marwadi dalam al-ahkam as-sulthaniyah mengatakan, "penentuan tunjangan
disesuaikan kebutuhan. Pemberian tunjangan bagi prang yang telah ditetapkan
secara rutin (pada zaman itu) tak ubahnya seperti gaji pada zaman kita.
Setetah pemenuhan kebutuhan
bagi semua pekerja negara direalisasikan, negara diberikan peluang (hak) kepada
untuk membedakan orang-orang yang giat dan kreatif dari orang-orang yang malas
dan awam. Ini merupakan salah satu sunatullah di dunia dan akhirat, sebagaimana
firman Allah SWT dalam surat al-Kahfi ayat 30: "Sesunggunya mereka yang
beriman dan beramal saleh, tentulah kami tidak akan menyia-nyiakan pahala
orang-orang yang mengerlakan arnalan(nya) dengan yang baik."
Para khalifah yang bijaksana
telah mengikuti jejak ini. Umar mengatakan tentang pembagian fat' dan
tunjangan: "Seseorang mendapatkan tunjangan sesuai dengan pengorbanannya,
seseorang mendapatkan tunjangan sesuai dengan kebutuhannya" (H.R Ahmad).
All r.a. mengatakan kepada gubernur (wakil)nya di Mesir, janganlah seseorang
yang berbuat baik dan orang yang berbuat jelek kedudukannya sama di sisimu
karena hal ini berarti melecehkan prang yang berbuat baik dan melatih orang
yang berbuat jelek untuk (terus) berbuat jelek." (Nahjul Balagahah, IV,
95).
e. Upah jika seorang pekerja
sebagai pihak berserikat (partnership)
Di dalam masyarakat sexing
terjadi seorang pekerja tidak mengambil upah tertentu dari pekerjaannya, tetapi
is berserikat dengan pemilik modal baik dalam keuntungan ataupun kenigian. Pada
kasus demikian dalam wacana fiqih Islam dikategorikan transaksi Muzara'ah dan
al Musaqat. Sistemnya yaitu is (pekerja) sebagai pihak yang berserikat dengan
pemilik tanah atau pemilik kebun. Pihak yang satu menyerahkan tanah atau
kebunnya, sedangkan pekerja memberikan usaha atau jerih payah, pengalaman
kerjanya, kemudian hasilnya dibagi di antara keduanya sesuai kesepakatan kedua
belah pihak.[13]
4.
Mengembangkan Potensi
Sumber daya manusia merupakan
kekuatan terbesar dalam pengelolaan seluruh sumber yang ada dimuka bumi, karena
pada dasarnya seluruh ciptaan Allah SWT yang sengaja diciptakan untuk
kemaslahatan umat manusia. Islam menghendaki manusia berada pada tatanan yang
tinggi. Oleh karena itu, manusia dikaruniai akal, perasaan, dan tubuh yang
sempurna. Kesempurnaan tersebut dimaksudkan agar manusia menjadi individu yang
dapat mengembangkan diri dan menjadi anggota masyarakat yang berdaya guna
sehingga dapat mengembangkan seluruh potensi sumber daya yang dimilikinya.
Seiring dengan perkembangan
zaman, kegiatan ekonomi juga mengalami perkembangan, tidak ketinggalan juga
ekonomi Islam. Kegiatan ekonomi Islam memperlihatkan tanda-tanda yang cukup
menggembirakan walaupun masih banyak kekurangan dan kelemahannya.[14]
Islam mendorong untuk
melakukan pelatihan (training) terhadap para karyawan dengan tujuan
mengembangkan kompetensi dan kemampuan dalam menjalankan tanggungjawab
pekerjaannya dan pelatihan ini diutamakan bersifat Islami. Islam menegaskan
bahwa pelatihan dan pengembangan mencakup mulai dari pengembangan moral, spiritual,
dan pada akhirnya dimuat pada kebijakan fiskal. Pelatihan dan pengembangan
harusnya mengantarkan pada peningkatan keimanan kepada Allah SWT dan untuk
menambah pengetahuan dan ketrampilan pekerja.
Islam tidak hanya mendorong
seseorang untuk bekerja, tetapi juga memotivasi untuk melakukan pekerjaan
dengan baik dan sempurna. Seorang karyawan sebaiknya bekerja dengan segenap
kemampuan, keinginan, dan kesungguhan untuk mencapai kesempurnaan dan
kesuksesan mereka sendiri, lingkungan sosialnya, dan juga untuk hari akhir.
Dalam Islam terdapat konsep ikhsan (keunggulan dan kebajikan) berhubungan
dengan kebaikan dan sesuatu yang diperintahkan oleh Allah SWT.[15]
Penilaian kinerja adalah cara
pengukuran kontribusi-kontribusi dari individu dalam instansi yang dilakukan terhadap
organisasi. Seorang manajer muslim dalam bertanggungjawab menilai karyawan
harus dilakukan secara adil. Menurut Ali dan Junaidah Hasyim sebagaimana yang
dikutip oleh Oktania, penilaian kinerja berdasarkan Al-Qur’an evaluasi
penilaian terdapat dua metode, yaitu berdasarkan pertimbangan dan berdasarkan
perilaku. Penilaian yang dilakukan
secara periodik akan memberikan banyak manfaat bagi organisasi atau perusahaan
karena dapat menentukan hal-hal apa saja yang dapat berjalan baik untuk jangka
panjang. Dan bagi individu dapat digunakan sebagai evaluasi diri terhadap
pekerjaan untuk mengetahui kesalahan yang terjadi dan mencegah hal itu terulang
lagi.[16]
Islam mendorong untuk
melakukan pelatihan terhadap para karyawan dengan tujuan mengembangkan
kompetensi dan kemampuan dalam menjalankan tanggungjawab pekerjaannya dan
pelatihan ini diutamakan bersifat Islami. Islam menegaskan bahwa pelatihan dan
pengembangan mencakup mulai dari pengembangan moral, spiritual, dan pada
akhirnya dimuat pada kebijakan fiskal. Pelatihan dan pengembangan harusnya
mengantarkan pada peningkatan keimanan kepada Allah SWT dan untuk menambah
pengetahuan dan ketrampilan pekerja.
Selain pelatihan dan
pengembangan yang bersifat religiuus, perusahaan selalu memberikan motivasi dan
dorongan kepada karyawan untuk senantiasa meningkatkan kualitas diri dengan
baik. Motivasi tersebut tidak hanya disampaikan oleh pimpinan, supervisor atau
staff perusahaan saja, tetapi juga disampaikan kepada pemuka agama yang berasal
dari luar perusahaan pada saat ada acara pengajian akbar. Hal ini dilakukan
perusahaan karena manusia terdiri dari jasmani dan rohani, maka dengan
dilaksanakannya hal tersebut karyawan bisa bekerja dengan semangat serta
memiliki kepribadian yang baik dan tanggungjawab.
Konsep pelatihan dan
pengembangan yang diterapkan oleh perusahaan ini tidak hanya mengedepankan
potensi dan kualitas karyawan, namun perusahaan juga memberikan pelatihan dan
pengembangan berupa moral dan spiritual. Islam menegaskan bahwa pelatihan dan
pengembangan harus mencakup semuanya, dimulai dari pengembangan moral dan
pengembangan spiritual manusia pada akhirnya dimuat pada peningkatan keimanan
kepada Allah SWT untuk menambah pengetahuan dan ketrampilan karyawan sehingga
bisa menaikkan level mereka. Islam tidak hanya mendorong manusia untuk bekerja
saja, tetapi juga memotivasi untuk melakukan pekerjaan dengan baik dan
sempurna.
Untuk penilaian kinerja, pada
perusahaan ini penilaian dibagi menjadi dua, yaitu penilaian berdasarkan hasil
kerja dan penilaian dari perilaku. Penilaian di perusahaan ini dilakukan secara
non formal yaitu penilaian langsung dari atasan. Penilaian kinerja menurut
perusahaan menekankan pada pada keadilan dan keterbukaan pada saat penilaian.
Mengenai tahapan yang dilakukan oleh perusahaan terhadap karyawan yang
berprestasi dan bermasalah, untuk karyawan yang berprestasi akan mendapatkan
reward dari perusahaan berupa uang. Dan untuk karyawan yang bermasalah yaitu
dilakukan pembinaan atau teguran.[17]
5.
Memberikan Kepemimpinan
a. Hakekat Kepemimpinan dalam
Islam
Di dalam ajaran Islam,
sesungguhnya seorang imam (pemimpin) itu diproyeksikan untuk mengambil alih
pecan nubuwah (kenabian) dalam menjaga agama dan mengatur dunia. Pemberian
jabatan imamah (kepemimpinan) kepada orang yang menjalankan tugas di atas pada
umat adalah wajib berdasarkan ijma' ularna. Apakah kewajiban pengangkatan imam
(pemimpin) itu berdasarkan akal atau syariat? Ada perbedaan pendapat dalam
masalah ini.
Sekelompok prang berpendapat,
pengangkatan imam (pemimpin) hukumnya wajib berdasarkan akal, sebab watak prang
-prang berakal mempunyai kecenderungan untuk tunduk kepada imam (pemimpin) yang
melindungi mereka dari segala bentuk ketidakadilan, memutuskan konflik dan
permusuhan yang terjadi di antara mereka. Tanpa imam (pemimpin), manusia berada
dalam keadaan chaos, dan menjadi.manusia-manusia yang tidak diperhitungkan
bangsa lain (Al Mawardhi, 2006). Sedangkan sekelompok lain berpendapat bahwa
pengangkatan imam hukumnya wajib berdasarkan syariat dan bukan berdasarkan
akal. Imam bertugas mengurusi urusan-urusan agama, dan bisa jadi akal tidak
mengategorikan imamah (kepemimpinan) sebagai ibadah, kemudian tidak mewajibkan
imamah tersebut. Hendaknya setiap orang dari orang-orang berakal melindungi
dirinya dari segala bentuk ketidakadilan, dan pemutusan hubungan. Demikian juga
bertindak adil dalam pelayanan (khidmad) dan komunikasi, kemudian is bertindak
dengan akalnya sendiri dan bukan dengan akal orang lain. Namun demikian syariat
menghendaki bahwa segala persoalan itu harus diserahkan kepada pihak yang
berwenang dalam agama. Allah SWT berfirman dalam surat An Nisa ayat 59, “Hai
orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil
amri di antara kainu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu,
maka kembalikanlah is kepada Allah (Al (Duran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu
benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih
utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”
Pada ayat di atas, Allah SWT
rnewajibkan kita menaati ulil amri di antara kita dan ulil amri yang dimaksud
adalah para imam (pemimpin) yang memerintah kita. Hisyam bin Urwah meriwayatkan
dari Abu Shalih dan dari Abu Hurairah, bahwa Hasulullah SAW bersabda, “Sepeninggalku
akan datang kepada kalian pemimpin-pemimpin, kemudian akan datang kepada kalian
pemimpin yang baik dengan membawa kebaikannya, kemudian akan datang kepada
kalian pemimpin jahat dengan membawa kejahatannya. Maka dengarkan mereka, dan
taatilah apa saja yang sesuai dengan kebenaran. Jika mereka berbuat baik, maka
kebaikan tersebut untuk kalian dan mereka, dan jika berbuat jahat, maka kalian
mendapat pahala dan mereka mendapat dosa.
b. Karakteristik kepemimpinan
Islam
Berbicara tentang karakteristik
kepemimpinan Islam, tidak terlepas dari pengertian hakiki sebuah kepemimpinan,
yaitu mengandung pengertian kemampuan untuk mengkoordinasi gerak tingkah laku,
jasmani maupun rohani, sehingga timbul kerefaan, keikhlasan, yang dapat
bertanggung jawab atas tercapaianya tujuan tertentu.
Tujuan tertentu tidak sekadar
mengandung arti kuantitatif yang biasanya bersifat keuntungan material tetapi
juga kualitatif yang artinya kesejahteraan rohani imaterial. Tujuan
kepemimpinan dalam Islam juga tidak semata-mata demi keberhasilan organisasi,
baik itu karena kepuasan bawahannya, efektivitas organisasi, pengawasan atau
kontrol manajemen, dengan bahasa lain, tujuannya tidak hanya memerhatikan
dimensi metafisika tetapi dimensi transedental, yaitu ridha Allah SWT. Dalam
proses pencapaian tujuan tersebut harus memperhatikan aspek etika atau adab,
atau syariat Allah dan Rasulullah SAW. Dalam hal ini konsep kepemimpinan harus
rnempunyai syarat-syarat tertentu agar tujuan dua dimensi tersebut tercapai.
Perspektif Al Qur'an tentang
karakteristik kepemimpinan, antara lain:
1. Bertawakal
Dalam surat Al Qasash ayat 77
Allah SWT menjelaskan, "Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan
Allah kepadamu-(kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan
bahagianmu dart (kertikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain)
sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat
kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
berbuat kerusakan.” Juga dalam surat Al lmran ayat 160, “Jika Allah menolong
kamu, maka tak ada orang yang dapat mengalahkan kamu; jika Allah membiarkan
kamu (tidak memben pertolongan), maka siapakah gerangan yang dapat menolong
kamu (selain) dari Allah sesudah itu? Karena itu hendaklah kepada Allah saja
orang-orang mukmin bertawakal”
2. Berpengatahuan luas (berilmu).
Diterangkan dalam surat Al
Mujadilah ayat 11: "Hai orang-orang beriman apabila dikatakan kepadamu:
"Berlapang-lapanglah dalam majlis",• maka lapangkanlah, niscaya Allah
akan memberi kelapangan untukrnu. Dan apabila dikatakan: "Berdidah
kamu", maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang
badman di antaramu dan orang-orang yang diberi dmu pengetahuan beberapa
derajat. Dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
3. Adil, jujur dan konsekuen
Sebagaimana firman Allah SWT
dalam surat An Nisa ayat 58, "Sesungguhnya Allah menyuruh kamu
menyampaikan amanat kepada yang bethak menerimanya, clan (menyuruh kamu)
apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.
Sesungguhnya Allah member' pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu.
Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha Melihat." Juga dalam
surat Al Maidah ayat 8: "Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi
orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi
dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum,
mendorong kamu untuk berlaku tidak add. Berlaku adillah, karena adil itu lebih
dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui
apa yang kamu kerjakan.”
4. Suka bermusyawarah
Dalam surat All lmran ayat 159
Allah SWT menerangkan: "Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku
lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar,
tentulah mereka menjauhkan din dad sekelilingmu. Karena itu ma'atkanlah mereka,
mohonkanlah ampun bagi mereka, dart bermusyawaratlah dengan mereka dalarn
urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah
kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal
kepada-Nya.”
5. Bertanggung Jawab
Allah SWT menjelaskan dalam
surat Al An'am ayat 164, “Katakanlah: apakah aku akan mencari Tuhan selain
Allah, padahal dia adalah Tuhan bagi segala sesuatu. dan tidakiah seorang
membuat dose melainkan kemudharatannya kembali kepada dirinya sendiri; dan
seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa prang lain. Kemudian kepada
Tuhanmulah kamu kembali, dan akan diberitakan-Nya kepadamu apa yang kamu perselisihkan”
6. Suka berbuat kebaikan
Allah SWT menerangkan dalam
surat Al Baciarah ayat 195, "Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan
Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan
berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.”
7. Memberi peringatan kepada
kebaikan
Allah SWT rnenjelaskan dalam
surat Az Zariyat ayat 55: "Dan tetaplah member' peringatan, karena
sesungguhnya peringatan itu berrnanfaat bagi orang-orang yang beriman."
Dalam surat at lmran 110: "Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan
untuk manusia, menyuruh kepada yang ma,tuf, dan mencegah dart yang munkar, dan
beriman kepada Allah. Sekiranya ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik
bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah
orang-orang yang fasik.”
8. Risau terhadap umat Islam
Sebagaimana firman Allah SWT
dalam surat At Taubah ayat 128: “Sungguh Telah datang kepadamu seorang Rasul
dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan
(keimanan dan keselamatan) bagimu, amat betas kasihan lagi Penyayang terhadap
orang-orang mukmin.”
c. Syarat-syarat kepemimpinan
Islam
Dalam Islam, selain dibahas karakeristik atau sifat
kepemimpinan juga diajarkan syarat-syarat menjadi pemimpin. Hal ini ada
mengingat betapa pentingnya seorang pemimpin dan dengan syarat-syarat tersebut
menghasilkan kepemimpinan yang menciptakan keadifan dan kesejahteraan bagi umat
Islam. [18]
B. PENUTUP
1. Kesimpulan
Manajemen Sumber Daya Insani, disingkat MSDM, adalah
suatu ilmu atau cara mengatur hubungan dan peranan sumber daya (tenaga kerja)
yang dimiliki oleh individu secara efisien dan efektif serta dapat digunakan
secara maksimal sehingga tercapai tujuan (goal) bersama perusahaan, karyawan
dan masyarakat menjadi maksimal.
Kebutuhan akan Sumber Daya Insani dimasa depan
ditentukan oleh sasaran dan strategi organisasi. Permintaan akan karyawan
merupakan hasil dari permintaan akan jasa atau produk organisasi itu.
Islam mendorong untuk melakukan pelatihan (training)
terhadap para karyawan dengan tujuan mengembangkan kompetensi dan kemampuan
dalam menjalankan tanggungjawab pekerjaannya dan pelatihan ini diutamakan
bersifat Islami. Islam menegaskan bahwa pelatihan dan pengembangan mencakup
mulai dari pengembangan moral, spiritual, dan pada akhirnya dimuat pada
kebijakan fiskal.
Pendelegasian wewenang ini tercermin dalam
pemerintahan Umar r.a. Suatu ketika masyarakat mengadukan kepemimpinan Iyadh
bin Ghanm dalam pengelolaan harta Baitul mal, Beliau memperluas pemberian harta
baitul mat, sehingga hanya tersisa sedikit daripada Khalid bin Walid. Khalifah
Umar r.a. kemudian berkata, "Ini merupakan tugas dan tanggung jawab Abu
Ubaidah at Jarrah. Tugas untuk mengawasi dan mengaudit keuangan Baitul mal
menjadi tugas dan wewenang Abu Ubaidah at Jarrah.
Sumber daya manusia merupakan kekuatan terbesar dalam
pengelolaan seluruh sumber yang ada dimuka bumi, karena pada dasarnya seluruh
ciptaan Allah SWT yang sengaja diciptakan untuk kemaslahatan umat manusia.
Islam menghendaki manusia berada pada tatanan yang tinggi. Oleh karena itu,
manusia dikaruniai akal, perasaan, dan tubuh yang sempurna. Kesempurnaan
tersebut dimaksudkan agar manusia menjadi individu yang dapat mengembangkan
diri dan menjadi anggota masyarakat yang berdaya guna sehingga dapat
mengembangkan seluruh potensi sumber daya yang dimilikinya.
2. Saran
Penulis menyadari makalah ini masih banyak kekurangan,
maka dari itu penulis mengharapakan kritik dan saran dari pembaca sebagai
pedoman penulisan makalah yang lebih baik kedepannya.
DAFTAR PUSTAKA
H.
Ali Hardana, Manajemen
Sumber Daya Insani, Jurnal: AL-MASHARIF, Volume
3, No. 1, Januari-Juni 2015.
Muhamad Mustaqim, Prinsip Syariah
Dalam Manajemen Sumber Daya Manusia (Studi atas Implementasi Manajemen Sumber
Daya Manusia UMKM di Kudus), Jurnal
Penelitian, Vol. 10, No. 2, Agustus 2016.
Nadya Amira Husna dan
Nur Aini Latifah, Penerapan
Prinsip Manajemen Sumber Daya Insani di Kampung Cokelat Blitar, Jurnal: Iqtisaduna, Volume 4 Nomor 1 Ed. Juni 2018.
Lukman Hakim, 2012, Prinsip-Prinsip Ekonomi Islam, Jakarta:
Erlangga.
|
iii
|
[1] H. Ali Hardana, Manajemen Sumber Daya Insani, Jurnal: AL-MASHARIF, Volume 3, No. 1,
Januari-Juni 2015, h.
115-116
[2] Nadya Amira Husna dan Nur
Aini Latifah, Penerapan Prinsip
Manajemen Sumber Daya Insani di Kampung Cokelat Blitar, Jurnal:
Iqtisaduna, Volume
4 Nomor 1 Ed. Juni 2018, h.
31
[3] H. Ali Hardana, Manajemen Sumber Daya Insani, Jurnal: AL-MASHARIF, Volume 3, No. 1,
Januari-Juni 2015, h.
116
[4] H. Ali Hardana, Manajemen Sumber Daya Insani, Jurnal: AL-MASHARIF, Volume 3, No. 1,
Januari-Juni 2015, h.
117
[5] Muhamad Mustaqim, Prinsip
Syariah Dalam Manajemen Sumber Daya Manusia (Studi atas Implementasi Manajemen
Sumber Daya Manusia UMKM di Kudus), Jurnal
Penelitian, Vol. 10, No. 2, Agustus 2016, h. 404
[6] Muhamad Mustaqim, Prinsip
Syariah Dalam Manajemen Sumber Daya Manusia (Studi atas Implementasi Manajemen
Sumber Daya Manusia UMKM di Kudus), Jurnal
Penelitian, Vol. 10, No. 2, Agustus 2016, h. 416
[7] H. Ali
Hardana, Manajemen
Sumber Daya Insani, Jurnal: AL-MASHARIF, Volume
3, No. 1, Januari-Juni 2015, h. 118
[8] H. Ali
Hardana, Manajemen
Sumber Daya Insani, Jurnal: AL-MASHARIF, Volume
3, No. 1, Januari-Juni 2015, h. 122-123
[9] Muhamad
Mustaqim, Prinsip
Syariah Dalam Manajemen Sumber Daya Manusia (Studi atas Implementasi Manajemen
Sumber Daya Manusia UMKM di Kudus), Jurnal
Penelitian, Vol. 10, No. 2, Agustus 2016, h. 418
[10] Nadya
Amira Husna dan Nur Aini Latifah, Penerapan Prinsip Manajemen Sumber Daya
Insani di Kampung Cokelat Blitar, Jurnal:
Iqtisaduna, Volume
4 Nomor 1 Ed. Juni 2018, h. 36
[11] Nadya
Amira Husna dan Nur Aini Latifah, Penerapan Prinsip Manajemen Sumber Daya
Insani di Kampung Cokelat Blitar, Jurnal:
Iqtisaduna, Volume
4 Nomor 1 Ed. Juni 2018, h. 36-37
[14] Nadya
Amira Husna dan Nur Aini Latifah, Penerapan Prinsip Manajemen Sumber Daya
Insani di Kampung Cokelat Blitar, Jurnal:
Iqtisaduna, Volume
4 Nomor 1 Ed. Juni 2018, h. 33
[15] Nadya Amira Husna dan Nur
Aini Latifah, Penerapan Prinsip
Manajemen Sumber Daya Insani di Kampung Cokelat Blitar, Jurnal:
Iqtisaduna, Volume
4 Nomor 1 Ed. Juni 2018, h. 37
[16] Nadya Amira Husna dan Nur
Aini Latifah, Penerapan Prinsip
Manajemen Sumber Daya Insani di Kampung Cokelat Blitar, Jurnal:
Iqtisaduna, Volume
4 Nomor 1 Ed. Juni 2018, h. 37-38
[17] Nadya Amira Husna dan Nur
Aini Latifah, Penerapan Prinsip
Manajemen Sumber Daya Insani di Kampung Cokelat Blitar, Jurnal:
Iqtisaduna, Volume
4 Nomor 1 Ed. Juni 2018, h. 42-43
Komentar
Posting Komentar