RASULULLAH DAN KARIR BISNISNYA
BAB I
RASULULLAH DAN KARIR BISNISNYA[1]
A. Awal Kelahiran Rasulullah
Mekkah termasuk kota yang paling istimewa di Jazirah Arab. Di antara
keistimewaannya adalah keberadaan ka’bah sebagai tempat ziarah orang-orang Arab
dari berbagai negeri. Selain itu, kegiatan perdagangan ramai mewarnai musim
ziarah di kota tersebut. Pada masa sebelum Islam, Mekkah dan ka’bah adalah
pusat ibadah masyarakat Arab dan sekitarnya. Tatkala Hasyim bin Abdul Manaf
menjadi tokoh penting di Mekkah, dia berhasil membuka jalur perdagangan setahun
dua kali bagi orang Quraisy: ke Yaman dan Syiria.
Muhammad dilahirkan dari Bani Quraisy. Keluarga beliau adalah pedagang.
Hampir seluruh orang Arab Makkah ketika itu bekerja sebagai pedagang, karena
bermata pencaharian dari bertani sangatlah sulit saat itu, mengingat kondisi
alam yang tandus, berbatu-batu dan kering. Muhammad adalah kaum Arab
Musta‟ribah yaitu kaum Arab yang berasal dari keturunan Nabi Ismail, mereka
dinamakan juga Arab Adnaniyyah. Ismail dikaruniai 12 orang anak yang semuanya
laki-laki. Mereka membentuk ke 12 kabilah yang semuanya tinggal di Mekkah dan
mata pencaharian mereka adalah berdagang.[2]
Setelah kematian kakeknya, Abdul Muthalib, Muhammad tinggal bersama
pamannya, Abu Thalib, yang berprofesi sebagai pedagang sebagaimana kebanyakan
pemimpin Quraisy lain. Sebab, berdagang merupakan pendapatan utama penduduk
kota Makkah.
Ketika pertama kali melakukan perjalanan dagang ke Syiria bersama
pamannya, Muhammad baru berusia 12 tahun. Kebetulan, Abu Thalib ibnu Abdul Muthalib
telah merencanakan melakukan perjalanan bersama sekelompok pedagang dalam
ekspedisi dagang ke Syiria. Ketika semua perbekalan telah siap dan kelompok
tersebut berkumpul untuk meninggalkan Makkah, Nabi yang waktu itu masih seorang
pemuda kecil, merangkul pamannya dan memperlihatkan kasih sayangnya yang sangat
besar sehingga Abu Thalib merasa iba. Beliau berkata : “Aku akan membawanya
bersamaku, dan kami tidak akan pernah berpisah”. Selanjutnya, Muhammad diajak
dalam perjalanan ini.
Di Busra (Syiria) ada seorang pendeta bernama Bahira yang tinggal di
sebuah biara. Pendeta ini sangat luas pengetahuannya mengenai kisah-kisah di
kalangan orang-orang Kristen. Sudah sejak lama biara tersebut selalu ditempati
oleh seorang pendeta. Di biara itu, terdapat sebuah manuskrip kuno yang
tersimpan sebagai kepercayaan yang telah diwariskan dari satu generasi ke
generasi berikutnya.
Ketika rombongan Abu Thalib berkemah di dekat biara, pendeta itu keluar
dan mengundang rombongan untuk menghadiri jamuan yang sudah dipersiapkan bagi
mereka. Pada kesempatan-kesempatan terdahulu, para pedagang juga melewati biara
ini, namun mereka belum pernah diundang makan malam bersama pendeta tersebut.
Bahira, yang sangat baik ini telah mengatur sebuah pesta besar yang
diperuntukkan bagi orang-orang ini. Sebab, dari dalam biara Bahira melihat
serombongan kafilah yang singgah bersama seorang anak muda yang dilindungi oleh
sekumpulan awan putih, mengesampingkan yang lainnya. Ia juga memperhatikan
cabang-cabang pohon tempat anak muda tersebut beristirahat; seluruhnya
merunduk, sehingga anak muda itu dapat berlindung. Ketika melihat ini, Bahira
keluar dari biaranya dan berkata : “Saya telah menyediakan makanan untuk kalian
wahai kaum Quraisy, dan saya ingin kalau semua datang, baik yang besar maupun
yang kecil, termasuk para budak.”
Mereka terkejut dan berkata : “Wahai Bahira, apa yang telah terj adi
padamu hari ini? Engkau tidak biasanya melayani kami seperti ini, meskipun
mereka berkali-kali melewati biaramu” Dengan sopan Bahira menjawab : “Kalian
adalah tamuku hari ini, dan aku senang sekali dapat memuliakan kalian.”[3]
Beberapa waktu kemudian, semuanya memenuhi undangan Bahira, tetapi
pemuda Muhammad tinggal dibelakang untuk menjaga barang dagangan. Bahira
meneliti setiap orang dan berseru : “Wahai kaum Quraisy, tak satu pun dari
kalian yang tidak hadir memenuhi undanganku” “Ya,” jawab mereka, “Kecuali
seorang anak laki-laki yang tinggal di belakang bersama barang-barang bawaannya”
Bahira pun merasa bingung dan berkata : “Itu tidak adil. Suruh dia masuk”
Muhammad lalu dibawa masuk. Ketika Bahira melihatnya, ia mulai menatapnya
dengan seksama. Selesai makan dan berpencar, Bahira mendekati anak laki-laki itu
serta menanyakan beberapa pertanyaan. Akhirnya Bahira dapat melihat “Tanda-tanda
kenabian” yang terdapat di antara kedua bahunya. Ini mirip seperti tanda dari
sebuah kaca melengkung. Lalu Bahira mendekati Abu Thalib dan berkata : “Bagaimana
hubunganmu dengan anak laki-laki ini?” “Ia adalah putraku” Kata Abu Thalib. “Bukan”
kata Bahira, “Ia bukan putramu. Bapaknya tidak mungkin masih hidup” “Memang,”
kata Abu Thalib meminta maaf, “Ia adalah putra saudaraku dan saudaraku itu
telah meninggal.”
Selanjutnya Bahira menasehati Abu Thalib , “Kembalillah ke negerimu
bersama keponakanmu itu dan jagalah ia dari orang-orang Yahudi. Sebab, demi
Tuhan, jika mereka melihatnya serta tahu tentang ia sebagaimana yang aku
ketahui, pastilah mereka akan melakukan penganiayaan terhadapnya. Suatu masa
depan yang sangat besar dibentangkan baginya. Maka segeralah kembali ke
negerimu bersama anak muda ini” (Ibn Hisyam, Hal.115-7; lihat juga al Tirmidzi;
46 : 3). Abu Thalib merasa agak takut, dan membawa Muhammad pulang kembali ke
Makkah segera setelah ia selesai berdagang di Syiria. Inilah perjalanan pertama
kali Muhammad ke Syiria.[4]
B. Perjalanan Dagang
Proses persinggahan Nabi Muhammad saw. Sendiri dengan aktivita bisns
tampaknya sudah menjadi bagian skenario Allah Swt. Nabi Muhammad Saw.
Dilahirkan dari bani Quraisy-sebuah suku di Arab yang dikenal tahan banting.[5]
Dengan demikian, Muhammad tumbuh dewasa di bawah asuhan Abu Thalib dan harus
belajar mengenai bisnis perdagangan dari pamannya. Ketika dewasa dan menyadari bahwa
pamannya bukanlah orang berada serta memiliki keluarga besar yang harus diberi nafkah,
ia mulai berdagang sendiri di kota Makkah. Tainpaknya profesi sebagai pedagang
ini telah dimulai lebih awal daripada yang dikenal umum dengan modal dari
Khadijah. Ia melakukan bisnis pada taraf kecil dan pribadi di Makkah. Ia
membeli barang-barang dari suatu pasar lalu menjualnya kepada orang lain. Hal
ini ditegaskan dengan peristiwa-peristiwa selanjutnya yang menunjukkan bahwa ia
telah memasuki kerjasama bisnis bersama sejumlah kecil orang sebelum
berhubungan dengan Khadijah.[6]
Nabi adalah salah seorang dari anggota keluarga besar suku Quraisy, dan
karenanya ia diharapkan berprofesi - sebagai mata pencahariannya - sebagaimana
anggota suku Quraisy Lainnya Meskipun tidak memiliki uang untuk berbisnis,
tetapi ia banyak menerima modal dari para janda kaya dan anak-anak yatim yang
tidak sanggup menjalankan sendiri dana mereka, dan menyambut baik seseorang
yang jujur untuk menjalankan bisnis dengan uang yang mereka miliki berdasarkan
kerjasama. Dengan demikian, terbuka kesempatan luas bagi Muhammad untuk
memasuki dunia bisnis dengan cara menjalankan modal orang lain, baik dengan
upah maupun berdasarkan persetujuan bagi hasil sebagai mitra. Khadijah adalah
salah seorang dari banyak wanita kaya di Makkah yang menjalankan bisnisnya
melalui agen-agen berdasarkan berbagai jenis kontrak. Karena Muhammad sejak
kecilnya terkenal rajin dan percaya diri, ia memperoleh reputasi yang baik
ketika dewasa. Ia dikenal karena kejujuran dan integritasnya. Penduduk Makkah
sendiri memanggilnya dengan sebutan Siddiq (jujur) dan Amin (terpercaya). Tidak
heran jika Khadijah pun menganggapnya sebagai mitra yang dapat dipercaya dan
menguntungkan, sehingga ia mengutusnya dalam beberapa perjalanan dagang ke
berbagai pasar di Utara dan Selatan dengan modalnya. Terkadang dengan memberi upah,
tidak jarang berdasarkan bagi hasil sebagai seorang mitra dagang.
Selanjutnya, Nabi banyak melakukan perjalanan dagang dengan modal dari
Khadijah. Salah satu perjalanan ini menjadi sangat terkenal sebab pada akhirnya
Khadijah melayangkan usulan untuk menikah melalui pembantunya. Tepatnya adalah
pada perjalanan ke Busra di Syiria. Keterangan mendetail mengenai ini terdapat
dalam kitab-kitab hadits, tarikh (sejarah) dan sirah. Muhammad melakukan
perjalanan ini ketika berusia 25 tahun. Meskipun demikian, sebelumnya dia sudah
banyak melakukan perjalanan dagang, dan sebagian dilakukan atas nama Khadijah.
Sedangkan perjalanan—perjalanan lainnya hanya disebutkan oleh para ahli sejarah,
tanpa perincian mengenai sifat perjalanan tersebut. Pernyataan beberapa penulis
sangat kabur sehingga akan keliru menyebut perjalanan-perjalanan ini sebagai
perjalanan dagang, meskipun memang ada kemungkinan demikian, karena tidak
diketemukan alasan lain bagi Nabi untuk melakukan perjalanan ke luar negeri
pada waktu itu.
Jelas bahwa Nabi telah membina dirinya menjadi seorang pedagang
profesional, yang memiliki reputasi dan integritas luar biasa. Selain itu, ia
juga berhasil mengukir namanya di kalangan masyarakat bisnis pada khususnya,
dan kaum Quraisy pada umumnya, sejak sebelum dipekerjakan oleh Khadijah
berdagang ke kota Busra di Syiria. Agaknya Nabi telah melakukan sebagian besar
perjalanan dagangannya keYaman, dan untuk maksud inilah ia melakukan banyak
perlawatan ke berbagai kota dagang di Yaman. Ia telah melakukan empat perjalanan
seperti ini untuk Khadijah. Pengarah sirah Halabiyah tampaknya telah meletakkan
kesalahan karena mencampuradukkan dua kota dagang: ia mengira bahwa Habasyah
dan Jorasy adalah nama-nama pusat perdagangan yang sama, tetapi ia jelas keliru
sebab keduanya adalah dua kota yang terpisah di Yaman. Menurut geografi Arabia
waktu itu salah satu dari kota ini berada di Yaman dan satunya lagi di Tahamah.
Menurut seorang ahli geografi Arab, Yaqut Hamawi, Jorasy adalah sebuah propinsi
di Yaman ke arah kota Makkah. Habasyah merupakan salah satu pasar terkenal di
Tahamah pada masa Arab jahiliyah.
Seorang ahli hadits, Abdur Razzaq, menyebutkan sebuah riwayat dari Ma’amer
berdasarkan sumber dari Imam Zahri bahwa ketika mencapai usia dewasa, Nabi
telah menjadi seorang pedagang. Karena tidak memiliki modal sendiri, Nabi pun
berdagang dengan modal orang lain. Khadijah telah mempekerjakannya untuk
membawa barang-barang dagangannya ke pasar Habasyah. Dengan demikian, menurut
sejumlah laporan yang disebutkan dalam Sirah Halabiyah, Nabi telah melakukan,
selain perlawatannya ke Syiria, empat perlawatan dagang lagi untuk Khadijah,
dua ke Habasyah dan dua lagi ke Jorasy.[7]
C. Bisnis Setelah Kerasulan
Dalam kajian keislaman, sosok Nabi Muhammad Saw. adalah tokoh sentral
dan sebagai refrensi utama dalam segala hal, baik itu terkait dengan persoalan
ekonomi, sosial kemasyarakatan maupun ia sebagai seorang pemimpin perang yang
gagah berani. Namun, ada satu hal yang masih kurang dikaji oleh para
intelektual muslim dulu dan kontemporer, yaitu aspek Muhammad Saw. sebagai
wirausahawan yang sukses. Kelihaiannya dalam menejemen membuatnya ia sangat
disegani dalam rekan bisnisnya. Dalam usia 40 an ia sudah sukses sebagai
seorang trader yang sangat sukses. Namun, sisi itu seakan hilang dari sentuhan
kajian para intelektual Muslim.[8]
Ada budaya bisnis bangsa arab terdahulu yang memang masih dianut oleh
bisnis kapitalis saat ini. [9] Setelah
menikah dengan Khadijah, Nabi tetap melangsungkan usaha perdagangannya seperti
biasa, namun sekarang Nabi bertindak sebagai manajer sekaligus mitra dalam
usaha istrinya. Sejak perkawinannya (dalam usia 25 tahun) hingga datangnya
penggilan tugas kenabian (di usia 40 tahun), Nabi telah melakukan perjalanan
dagang ke berbagai daerah Semenanjung Arab dan negeri-negeri perbatasanYaman,
Bahrain, Irak, dan Syiria.
Benar bahwa di penghujung usia 30-an, Nabi lebih berkecenderungan ke
arah meditasi dan dan untuk tujuan ini Nabi sering menghabiskan waktunya
berhari-hari, bahkan Derminggueminggu di gunung Hira (Jabal Nur). Tetapi
sebelum itu hingga pertengahan usia 30-an, Nabi banyak terlibat dalam bidang
perdagangan seperti kebanyakan pedagang-pedagang Tiga dari perjalanan dagang
Nabi setelah menikah telah dicatat dalam sejarah : Pertama, pajalanan dagang
keYaman; Kedua, ke Najd, dan ketiga ke Najarn.
Diceritakan juga bahwa di samping perjalanan-perjalanan tersebut, Nabi
terlibat dalam insan dagang yang besar, selama musim-musim haji, di festival
dagang Ukaz dan Dzul Majaz. illitnczkan musim lain Nabi sibuk mengurus
perdagangan grosir di pasar-pasar kota Makkah. [10]
1. Transaksi-transaksi Penjualan
Anas meriwayatkan bahwa Nabi pernah menawarkan sebuah
kain pelana dan bejana untuk minum seraya mengatakan, “Siapa yang ingin membeli
kain pelana dan bejana air minum?” Seorang laki-lalci menawarnya seharga satu
dirham, dan Nabi menanyakan apakah ada orang yang akan membayar yang lebih
mahal. Seorang laki-laki menawar padanya dengan harga dua dirham, dan ia pun
menjual barang tersebut padanya (Tirmidzi, Abu Dawud dan Ibn Majah).
Abdullah ibn Abdul Hamzah mengatakan : “Aku telah membeli sesuatu dari Nabi sebelum
ia menerima tugas kenabian, dan karena masih ada suatu urusan dengannya, maka
aku menjanjikan untuk mengantarkan padanya, tetapi aku lupa. Ketika teringat
tiga hari kemudian, aku pun pergi ke tempat tersebut dan menemukan Nabi masih
berada di sana.” Nabi berkata, “Engkau telah membuatku resah, aku berada di
sini selama tiga hari menunggumu.” (Abu Dawud).
2. Transaksi-transaksi Pembelian
Muhammad melakukan sejumlah besar transaksi pembelian,
terutama sebelum kenabiannya. Sebagian dari transaksi tersebut adalah sebagai
berikut :
Jabir
berkata, “Saya sedang melakukan perjalanan dengan menunggang seekor unta yang
sudah kelelahan, tetapi ketika Nabi lewat dan memukulnya, unta tadi berjalan
lagi. Ini belum pernah ia lakukan sebelumnya. Nabi SAW lalu berkata : “Juallah
unta itu padaku seharga satu uqiyah (40 dirham). Saya setuju, tetapi dengan
syarat boleh mengendarainya sampai ke rumah. Ketika sampai di Madinah, saya
serahkan unta tersebut dan ia membayar kontan.”
Dalam versi lain, Jabir berkata, “Nabi membayar dengan harga tersebut dan mengembalikannya pada saya.”
Dan dalam versi Bukhari, “Nabi berkata
pada Bilal, bayarlah ia dan berikan
padanya sesuatu sebagai tambahan, dan Bilal pun memberikan uang tersebut dengan
menambah satu qirat.” (Bukhari dan Muslim).
Hakim ibn Hizam berkata, Nabi mengirimkan padanya uang
satu dinar untuk membeli seekor hewan kurban untuknya, ia membeli seekor domba
seharga satu dinar, menjualnya kembali seharga dua dinar, membeli seekor hewan
kurban seharga satu dinar, dan membawanya bersama keuntungan satu dinar yang
didapatnya. Nabi memberikan uang satu dinar tadi sebagai sedekah serta
memohonkan berkah atasnya (Tirmidzi dan Abu Dawud).
3. Pembelian Berdasarkan Kredit
Nabi kadang-kadang membeli barang secara kredit, jika
tidak mempunyai sesuatu untuk dibayarkan. Kadang-kadang ia membeli sesuatu, dan
menggadaikan baju besinya pada pedagang. Abu Rafi’ berkata, “Nabi telah meminjam seekor unta yang masih
muda, dan ketika unta-unta sedekah datang padanya, ia menyuruh saya untuk
membayar orang yang menjual unta yang masih mudah itu. Ketika saya katakan
padanya bahwa saya hanya mampu mendapatkan seekor unta bagus yang umurnya tujuh
tahun, beliau mengatakan, “berikan padanya unta tersebut, sebab orang yang
paling utama adalah yang menebus utangnya dengan cara yang paling baik”
(Muslim).
Ali menceritakan, Nabi meminjam beberapa dinar dari
seorang tabib Yahudi yang meminta pelunasan dari Nabi. Ketika Nabi
memberitahukan padaYahudi itu, bahwa ia tidak punya apa-apa untuk membayar,
Yahudi tersebut berkata, “Saya tidak akan meninggalkanmu Muhammad, hingga engkau
membayar saya.” Nabi berkata, “Kalau begitu saya akan duduk bersamamu,” dan
Nabi pun melakukan hal itu. Nabi shalat zuhur, ashar, maghrib, isya’ dan
esoknya shalat subuh, dan para sahabat Nabi mengancam orang tersebut, Nabi
menyadari tindakan mereka. Lalu mereka berkata, “Rasulullah, apakah orang
Yahudi ini yang menahanmu?” Terhadap pertanyaan ini Nabi menjawab “Tuhanku
menahanku untuk tidak menyalahi kesepakatan yang telah ku buat, denganYahudi
tersebut atau dengan orang lain.” Ketika beberapa hari berlalu, Yahudi itu lalu
berkata, “Saya bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan engkau adalah
Rasulullah; separuh kekayaan saya akan saya belanjakan di jalan Allah. Saya
bersumpah, tujuan saya memperlakukan engkau seperti ini semata-mata untuk
memastikan gambaran tentang engkau yang telah diungkapkan dalam Taurat:
“Muhammad Ibn Abdullah, yang bertanah kelahiran di kota Makkah, yang hijrah ke
Taiba, dan yang memiliki kerajaan di Syiria; ia tidak bersifat kasar, keras,
atau suka berteriak di jalan-jalan, dan tidak dikenali karena kekasaran atau
pembicaraannya yang tidak senonoh. Saya bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain
Allah, dan saya bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah. Berikanlah
keputusan tentang harta saya ini menurut apa yang Allah telah perlihatkan
padamu.” Orang-orang Yahudi itu sangat kaya (Baihaqi dalam Dalail an-Nubuwwah).
Muhammad pernah membeli seekor unta, kemudian
datanglah penjualnya dan meminta uangnya dengan kata-kata yang sangat kasar.
Para sahabat Nabi menangkapnya, tetapi ia berkata, “Biarkan ia, sebab si
pemegang hak berhak untuk berbicara.” Pernah, pada suatu hari, Nabi membeli
sesuatu tetapi tidak mempunyai uang untuk membayarnya. Kemudian Nabi menjualnya
supaya mendapat keuntungan dan membelanjakan keuntungan tersebut untuk pada
janda dari Bani Muttalib dan mengatakan, “Nanti saya tidak akan membeli sesuatu
sampai saya memiliki uang untuk membayar harganya” (Abu Dawud)
Suatu ketika datang seorang kreditor Nabi, dan
memperlakukan Nabi dengan sangat kasar dalam menagih uangnya. “Umar ingin
menangkapnya, tapi Nabi mengatakan, “Umar, hentikan, aku lebih suka agar engkau
menyuruhku untuk membayar hutang tersebut-karena ia lebih membutuhkan-dari pada
engkau menyuruhnya untuk bersabar” (Zad al-Ma’ad).[11]
Bisnis sebenarnya bisa menjadi jalan persaudaraan. Bisnis buat seorang
bergerak dinamis sehingga bisa menebar jaringan perkenalan, bahkan
persaudaraan. Kompetitor bisnis bukanlah musuh yang harus dibinasakan,
melainkan teman-teman yang harus digandeng untuk membangun kekuatan bersama.[12]
D. Penutup
Muhammad dilahirkan dari Bani Quraisy. Keluarga beliau adalah pedagang.
Hampir seluruh orang Arab Makkah ketika itu bekerja sebagai pedagang, karena
bermata pencaharian dari bertani sangatlah sulit saat itu, mengingat kondisi
alam yang tandus, berbatu-batu dan kering. Muhammad adalah kaum Arab
Musta‟ribah yaitu kaum Arab yang berasal dari keturunan Nabi Ismail, mereka
dinamakan juga Arab Adnaniyyah. Ismail dikaruniai 12 orang anak yang semuanya
laki-laki. Mereka membentuk ke 12 kabilah yang semuanya tinggal di Mekkah dan
mata pencaharian mereka adalah berdagang.
Muhammad untuk memasuki dunia bisnis dengan cara menjalankan modal orang
lain, baik dengan upah maupun berdasarkan persetujuan bagi hasil sebagai mitra.
Khadijah adalah salah seorang dari banyak wanita kaya di Makkah yang
menjalankan bisnisnya melalui agen-agen berdasarkan berbagai jenis kontrak.
Karena Muhammad sejak kecilnya terkenal rajin dan percaya diri, ia memperoleh
reputasi yang baik ketika dewasa. Ia dikenal karena kejujuran dan integritasnya.
Setelah menikah dengan Khadijah, Nabi tetap melangsungkan usaha
perdagangannya seperti biasa, namun sekarang Nabi bertindak sebagai manajer
sekaligus mitra dalam usaha istrinya. Sejak perkawinannya (dalam usia 25 tahun)
hingga datangnya penggilan tugas kenabian (di usia 40 tahun), Nabi telah
melakukan perjalanan dagang ke berbagai daerah Semenanjung Arab dan
negeri-negeri perbatasanYaman, Bahrain, Irak, dan Syiria.
DAFTAR
PUSTAKA
Bambang Trim, Business
Wisdom Of Muhammad Saw. 44 Kedahsyatan Bisnis Ala Nabi Saw, (Bandung: PT
Karya Kita, 2008).
Juhanis, Filosofi
Wirausaha Nabi Muhammad, Jurnal: Sulesana Volume 8 Nomor 1
Tahun 2013.
Muhammad, Etika Bisnis Islami, (Yogyakarta: UPP-AMP
YKPN Yogyakarta, 2004).
Novi
Indriyani Sitepu, Prilaku Bisnis
Muhammad SAW Sebagai Entrepreneur Dalam Filsafat Ekonomi Islam, HUMAN
FALAH: Volume 3. No. 1 Januari – Juni 2016.
[1] Lica miana,
[2] Nahdatul Aysah, Prilaku
Bisnis Muhammad SAW Sebagai Entrepreneur Dalam Filsafat Ekonomi Islam, HUMAN FALAH: Volume 3.
No. 1 Januari – Juni 2016, h. 19
[5] Bambang
Trim, Business Wisdom Of Muhammad Saw. 44
Kedahsyatan Bisnis Ala Nabi Saw, (Bandung: PT Karya Kita, 2008) h. 2
[9] Bambang
Trim, Business Wisdom Of Muhammad Saw. 44
Kedahsyatan Bisnis Ala Nabi Saw, (Bandung: PT Karya Kita, 2008) h. 4
[12] Bambang
Trim, Business Wisdom Of Muhammad Saw. 44
Kedahsyatan Bisnis Ala Nabi Saw, (Bandung: PT Karya Kita, 2008) h. 8
Komentar
Posting Komentar