RASULULLAH DAN KARIR BISNISNYA


BAB I
RASULULLAH DAN KARIR BISNISNYA[1]

A.    Awal Kelahiran Rasulullah
Mekkah termasuk kota yang paling istimewa di Jazirah Arab. Di antara keistimewaannya adalah keberadaan ka’bah sebagai tempat ziarah orang-orang Arab dari berbagai negeri. Selain itu, kegiatan perdagangan ramai mewarnai musim ziarah di kota tersebut. Pada masa sebelum Islam, Mekkah dan ka’bah adalah pusat ibadah masyarakat Arab dan sekitarnya. Tatkala Hasyim bin Abdul Manaf menjadi tokoh penting di Mekkah, dia berhasil membuka jalur perdagangan setahun dua kali bagi orang Quraisy: ke Yaman dan Syiria.
Muhammad dilahirkan dari Bani Quraisy. Keluarga beliau adalah pedagang. Hampir seluruh orang Arab Makkah ketika itu bekerja sebagai pedagang, karena bermata pencaharian dari bertani sangatlah sulit saat itu, mengingat kondisi alam yang tandus, berbatu-batu dan kering. Muhammad adalah kaum Arab Musta‟ribah yaitu kaum Arab yang berasal dari keturunan Nabi Ismail, mereka dinamakan juga Arab Adnaniyyah. Ismail dikaruniai 12 orang anak yang semuanya laki-laki. Mereka membentuk ke 12 kabilah yang semuanya tinggal di Mekkah dan mata pencaharian mereka adalah berdagang.[2]
Setelah kematian kakeknya, Abdul Muthalib, Muhammad tinggal bersama pamannya, Abu Thalib, yang berprofesi sebagai pedagang sebagaimana kebanyakan pemimpin Quraisy lain. Sebab, berdagang merupakan pendapatan utama penduduk kota Makkah.
Ketika pertama kali melakukan perjalanan dagang ke Syiria bersama pamannya, Muhammad baru berusia 12 tahun. Kebetulan, Abu Thalib ibnu Abdul Muthalib telah merencanakan melakukan perjalanan bersama sekelompok pedagang dalam ekspedisi dagang ke Syiria. Ketika semua perbekalan telah siap dan kelompok tersebut berkumpul untuk meninggalkan Makkah, Nabi yang waktu itu masih seorang pemuda kecil, merangkul pamannya dan memperlihatkan kasih sayangnya yang sangat besar sehingga Abu Thalib merasa iba. Beliau berkata : “Aku akan membawanya bersamaku, dan kami tidak akan pernah berpisah”. Selanjutnya, Muhammad diajak dalam perjalanan ini.
Di Busra (Syiria) ada seorang pendeta bernama Bahira yang tinggal di sebuah biara. Pendeta ini sangat luas pengetahuannya mengenai kisah-kisah di kalangan orang-orang Kristen. Sudah sejak lama biara tersebut selalu ditempati oleh seorang pendeta. Di biara itu, terdapat sebuah manuskrip kuno yang tersimpan sebagai kepercayaan yang telah diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Ketika rombongan Abu Thalib berkemah di dekat biara, pendeta itu keluar dan mengundang rombongan untuk menghadiri jamuan yang sudah dipersiapkan bagi mereka. Pada kesempatan-kesempatan terdahulu, para pedagang juga melewati biara ini, namun mereka belum pernah diundang makan malam bersama pendeta tersebut.
Bahira, yang sangat baik ini telah mengatur sebuah pesta besar yang diperuntukkan bagi orang-orang ini. Sebab, dari dalam biara Bahira melihat serombongan kafilah yang singgah bersama seorang anak muda yang dilindungi oleh sekumpulan awan putih, mengesampingkan yang lainnya. Ia juga memperhatikan cabang-cabang pohon tempat anak muda tersebut beristirahat; seluruhnya merunduk, sehingga anak muda itu dapat berlindung. Ketika melihat ini, Bahira keluar dari biaranya dan berkata : “Saya telah menyediakan makanan untuk kalian wahai kaum Quraisy, dan saya ingin kalau semua datang, baik yang besar maupun yang kecil, termasuk para budak.”
Mereka terkejut dan berkata : “Wahai Bahira, apa yang telah terj adi padamu hari ini? Engkau tidak biasanya melayani kami seperti ini, meskipun mereka berkali-kali melewati biaramu” Dengan sopan Bahira menjawab : “Kalian adalah tamuku hari ini, dan aku senang sekali dapat memuliakan kalian.”[3]
Beberapa waktu kemudian, semuanya memenuhi undangan Bahira, tetapi pemuda Muhammad tinggal dibelakang untuk menjaga barang dagangan. Bahira meneliti setiap orang dan berseru : “Wahai kaum Quraisy, tak satu pun dari kalian yang tidak hadir memenuhi undanganku” “Ya,” jawab mereka, “Kecuali seorang anak laki-laki yang tinggal di belakang bersama barang-barang bawaannya” Bahira pun merasa bingung dan berkata : “Itu tidak adil. Suruh dia masuk” Muhammad lalu dibawa masuk. Ketika Bahira melihatnya, ia mulai menatapnya dengan seksama. Selesai makan dan berpencar, Bahira mendekati anak laki-laki itu serta menanyakan beberapa pertanyaan. Akhirnya Bahira dapat melihat “Tanda-tanda kenabian” yang terdapat di antara kedua bahunya. Ini mirip seperti tanda dari sebuah kaca melengkung. Lalu Bahira mendekati Abu Thalib dan berkata : “Bagaimana hubunganmu dengan anak laki-laki ini?” “Ia adalah putraku” Kata Abu Thalib. “Bukan” kata Bahira, “Ia bukan putramu. Bapaknya tidak mungkin masih hidup” “Memang,” kata Abu Thalib meminta maaf, “Ia adalah putra saudaraku dan saudaraku itu telah meninggal.”
Selanjutnya Bahira menasehati Abu Thalib , “Kembalillah ke negerimu bersama keponakanmu itu dan jagalah ia dari orang-orang Yahudi. Sebab, demi Tuhan, jika mereka melihatnya serta tahu tentang ia sebagaimana yang aku ketahui, pastilah mereka akan melakukan penganiayaan terhadapnya. Suatu masa depan yang sangat besar dibentangkan baginya. Maka segeralah kembali ke negerimu bersama anak muda ini” (Ibn Hisyam, Hal.115-7; lihat juga al Tirmidzi; 46 : 3). Abu Thalib merasa agak takut, dan membawa Muhammad pulang kembali ke Makkah segera setelah ia selesai berdagang di Syiria. Inilah perjalanan pertama kali Muhammad ke Syiria.[4]

B.     Perjalanan Dagang
Proses persinggahan Nabi Muhammad saw. Sendiri dengan aktivita bisns tampaknya sudah menjadi bagian skenario Allah Swt. Nabi Muhammad Saw. Dilahirkan dari bani Quraisy-sebuah suku di Arab yang dikenal tahan banting.[5] Dengan demikian, Muhammad tumbuh dewasa di bawah asuhan Abu Thalib dan harus belajar mengenai bisnis perdagangan dari pamannya. Ketika dewasa dan menyadari bahwa pamannya bukanlah orang berada serta memiliki keluarga besar yang harus diberi nafkah, ia mulai berdagang sendiri di kota Makkah. Tainpaknya profesi sebagai pedagang ini telah dimulai lebih awal daripada yang dikenal umum dengan modal dari Khadijah. Ia melakukan bisnis pada taraf kecil dan pribadi di Makkah. Ia membeli barang-barang dari suatu pasar lalu menjualnya kepada orang lain. Hal ini ditegaskan dengan peristiwa-peristiwa selanjutnya yang menunjukkan bahwa ia telah memasuki kerjasama bisnis bersama sejumlah kecil orang sebelum berhubungan dengan Khadijah.[6]
Nabi adalah salah seorang dari anggota keluarga besar suku Quraisy, dan karenanya ia diharapkan berprofesi - sebagai mata pencahariannya - sebagaimana anggota suku Quraisy Lainnya Meskipun tidak memiliki uang untuk berbisnis, tetapi ia banyak menerima modal dari para janda kaya dan anak-anak yatim yang tidak sanggup menjalankan sendiri dana mereka, dan menyambut baik seseorang yang jujur untuk menjalankan bisnis dengan uang yang mereka miliki berdasarkan kerjasama. Dengan demikian, terbuka kesempatan luas bagi Muhammad untuk memasuki dunia bisnis dengan cara menjalankan modal orang lain, baik dengan upah maupun berdasarkan persetujuan bagi hasil sebagai mitra. Khadijah adalah salah seorang dari banyak wanita kaya di Makkah yang menjalankan bisnisnya melalui agen-agen berdasarkan berbagai jenis kontrak. Karena Muhammad sejak kecilnya terkenal rajin dan percaya diri, ia memperoleh reputasi yang baik ketika dewasa. Ia dikenal karena kejujuran dan integritasnya. Penduduk Makkah sendiri memanggilnya dengan sebutan Siddiq (jujur) dan Amin (terpercaya). Tidak heran jika Khadijah pun menganggapnya sebagai mitra yang dapat dipercaya dan menguntungkan, sehingga ia mengutusnya dalam beberapa perjalanan dagang ke berbagai pasar di Utara dan Selatan dengan modalnya. Terkadang dengan memberi upah, tidak jarang berdasarkan bagi hasil sebagai seorang mitra dagang.
Selanjutnya, Nabi banyak melakukan perjalanan dagang dengan modal dari Khadijah. Salah satu perjalanan ini menjadi sangat terkenal sebab pada akhirnya Khadijah melayangkan usulan untuk menikah melalui pembantunya. Tepatnya adalah pada perjalanan ke Busra di Syiria. Keterangan mendetail mengenai ini terdapat dalam kitab-kitab hadits, tarikh (sejarah) dan sirah. Muhammad melakukan perjalanan ini ketika berusia 25 tahun. Meskipun demikian, sebelumnya dia sudah banyak melakukan perjalanan dagang, dan sebagian dilakukan atas nama Khadijah. Sedangkan perjalanan—perjalanan lainnya hanya disebutkan oleh para ahli sejarah, tanpa perincian mengenai sifat perjalanan tersebut. Pernyataan beberapa penulis sangat kabur sehingga akan keliru menyebut perjalanan-perjalanan ini sebagai perjalanan dagang, meskipun memang ada kemungkinan demikian, karena tidak diketemukan alasan lain bagi Nabi untuk melakukan perjalanan ke luar negeri pada waktu itu.
Jelas bahwa Nabi telah membina dirinya menjadi seorang pedagang profesional, yang memiliki reputasi dan integritas luar biasa. Selain itu, ia juga berhasil mengukir namanya di kalangan masyarakat bisnis pada khususnya, dan kaum Quraisy pada umumnya, sejak sebelum dipekerjakan oleh Khadijah berdagang ke kota Busra di Syiria. Agaknya Nabi telah melakukan sebagian besar perjalanan dagangannya keYaman, dan untuk maksud inilah ia melakukan banyak perlawatan ke berbagai kota dagang di Yaman. Ia telah melakukan empat perjalanan seperti ini untuk Khadijah. Pengarah sirah Halabiyah tampaknya telah meletakkan kesalahan karena mencampuradukkan dua kota dagang: ia mengira bahwa Habasyah dan Jorasy adalah nama-nama pusat perdagangan yang sama, tetapi ia jelas keliru sebab keduanya adalah dua kota yang terpisah di Yaman. Menurut geografi Arabia waktu itu salah satu dari kota ini berada di Yaman dan satunya lagi di Tahamah. Menurut seorang ahli geografi Arab, Yaqut Hamawi, Jorasy adalah sebuah propinsi di Yaman ke arah kota Makkah. Habasyah merupakan salah satu pasar terkenal di Tahamah pada masa Arab jahiliyah.
Seorang ahli hadits, Abdur Razzaq, menyebutkan sebuah riwayat dari Ma’amer berdasarkan sumber dari Imam Zahri bahwa ketika mencapai usia dewasa, Nabi telah menjadi seorang pedagang. Karena tidak memiliki modal sendiri, Nabi pun berdagang dengan modal orang lain. Khadijah telah mempekerjakannya untuk membawa barang-barang dagangannya ke pasar Habasyah. Dengan demikian, menurut sejumlah laporan yang disebutkan dalam Sirah Halabiyah, Nabi telah melakukan, selain perlawatannya ke Syiria, empat perlawatan dagang lagi untuk Khadijah, dua ke Habasyah dan dua lagi ke Jorasy.[7]
                                                                                           
C.    Bisnis Setelah Kerasulan
Dalam kajian keislaman, sosok Nabi Muhammad Saw. adalah tokoh sentral dan sebagai refrensi utama dalam segala hal, baik itu terkait dengan persoalan ekonomi, sosial kemasyarakatan maupun ia sebagai seorang pemimpin perang yang gagah berani. Namun, ada satu hal yang masih kurang dikaji oleh para intelektual muslim dulu dan kontemporer, yaitu aspek Muhammad Saw. sebagai wirausahawan yang sukses. Kelihaiannya dalam menejemen membuatnya ia sangat disegani dalam rekan bisnisnya. Dalam usia 40 an ia sudah sukses sebagai seorang trader yang sangat sukses. Namun, sisi itu seakan hilang dari sentuhan kajian para intelektual Muslim.[8]
Ada budaya bisnis bangsa arab terdahulu yang memang masih dianut oleh bisnis kapitalis saat ini. [9] Setelah menikah dengan Khadijah, Nabi tetap melangsungkan usaha perdagangannya seperti biasa, namun sekarang Nabi bertindak sebagai manajer sekaligus mitra dalam usaha istrinya. Sejak perkawinannya (dalam usia 25 tahun) hingga datangnya penggilan tugas kenabian (di usia 40 tahun), Nabi telah melakukan perjalanan dagang ke berbagai daerah Semenanjung Arab dan negeri-negeri perbatasanYaman, Bahrain, Irak, dan Syiria.
Benar bahwa di penghujung usia 30-an, Nabi lebih berkecenderungan ke arah meditasi dan dan untuk tujuan ini Nabi sering menghabiskan waktunya berhari-hari, bahkan Derminggueminggu di gunung Hira (Jabal Nur). Tetapi sebelum itu hingga pertengahan usia 30-an, Nabi banyak terlibat dalam bidang perdagangan seperti kebanyakan pedagang-pedagang Tiga dari perjalanan dagang Nabi setelah menikah telah dicatat dalam sejarah : Pertama, pajalanan dagang keYaman; Kedua, ke Najd, dan ketiga ke Najarn.
Diceritakan juga bahwa di samping perjalanan-perjalanan tersebut, Nabi terlibat dalam insan dagang yang besar, selama musim-musim haji, di festival dagang Ukaz dan Dzul Majaz. illitnczkan musim lain Nabi sibuk mengurus perdagangan grosir di pasar-pasar kota Makkah. [10]
1.      Transaksi-transaksi Penjualan
Anas meriwayatkan bahwa Nabi pernah menawarkan sebuah kain pelana dan bejana untuk minum seraya mengatakan, “Siapa yang ingin membeli kain pelana dan bejana air minum?” Seorang laki-lalci menawarnya seharga satu dirham, dan Nabi menanyakan apakah ada orang yang akan membayar yang lebih mahal. Seorang laki-laki menawar padanya dengan harga dua dirham, dan ia pun menjual barang tersebut padanya (Tirmidzi, Abu Dawud dan Ibn Majah).
Abdullah ibn Abdul Hamzah mengatakan : “Aku telah membeli sesuatu dari Nabi sebelum ia menerima tugas kenabian, dan karena masih ada suatu urusan dengannya, maka aku menjanjikan untuk mengantarkan padanya, tetapi aku lupa. Ketika teringat tiga hari kemudian, aku pun pergi ke tempat tersebut dan menemukan Nabi masih berada di sana.” Nabi berkata, “Engkau telah membuatku resah, aku berada di sini selama tiga hari menunggumu.” (Abu Dawud).
2.      Transaksi-transaksi Pembelian
Muhammad melakukan sejumlah besar transaksi pembelian, terutama sebelum kenabiannya. Sebagian dari transaksi tersebut adalah sebagai berikut :
Jabir berkata, “Saya sedang melakukan perjalanan dengan menunggang seekor unta yang sudah kelelahan, tetapi ketika Nabi lewat dan memukulnya, unta tadi berjalan lagi. Ini belum pernah ia lakukan sebelumnya. Nabi SAW lalu berkata : “Juallah unta itu padaku seharga satu uqiyah (40 dirham). Saya setuju, tetapi dengan syarat boleh mengendarainya sampai ke rumah. Ketika sampai di Madinah, saya serahkan unta tersebut dan ia membayar kontan.”
Dalam versi lain, Jabir berkata, “Nabi membayar dengan harga tersebut dan mengembalikannya pada saya.” Dan dalam versi Bukhari, “Nabi berkata pada Bilal, bayarlah  ia dan berikan padanya sesuatu sebagai tambahan, dan Bilal pun memberikan uang tersebut dengan menambah satu qirat.” (Bukhari dan Muslim).
Hakim ibn Hizam berkata, Nabi mengirimkan padanya uang satu dinar untuk membeli seekor hewan kurban untuknya, ia membeli seekor domba seharga satu dinar, menjualnya kembali seharga dua dinar, membeli seekor hewan kurban seharga satu dinar, dan membawanya bersama keuntungan satu dinar yang didapatnya. Nabi memberikan uang satu dinar tadi sebagai sedekah serta memohonkan berkah atasnya (Tirmidzi dan Abu Dawud).

3.      Pembelian Berdasarkan Kredit
Nabi kadang-kadang membeli barang secara kredit, jika tidak mempunyai sesuatu untuk dibayarkan. Kadang-kadang ia membeli sesuatu, dan menggadaikan baju besinya pada pedagang. Abu Rafi’ berkata, “Nabi telah meminjam seekor unta yang masih muda, dan ketika unta-unta sedekah datang padanya, ia menyuruh saya untuk membayar orang yang menjual unta yang masih mudah itu. Ketika saya katakan padanya bahwa saya hanya mampu mendapatkan seekor unta bagus yang umurnya tujuh tahun, beliau mengatakan, “berikan padanya unta tersebut, sebab orang yang paling utama adalah yang menebus utangnya dengan cara yang paling baik” (Muslim).
Ali menceritakan, Nabi meminjam beberapa dinar dari seorang tabib Yahudi yang meminta pelunasan dari Nabi. Ketika Nabi memberitahukan padaYahudi itu, bahwa ia tidak punya apa-apa untuk membayar, Yahudi tersebut berkata, “Saya tidak akan meninggalkanmu Muhammad, hingga engkau membayar saya.” Nabi berkata, “Kalau begitu saya akan duduk bersamamu,” dan Nabi pun melakukan hal itu. Nabi shalat zuhur, ashar, maghrib, isya’ dan esoknya shalat subuh, dan para sahabat Nabi mengancam orang tersebut, Nabi menyadari tindakan mereka. Lalu mereka berkata, “Rasulullah, apakah orang Yahudi ini yang menahanmu?” Terhadap pertanyaan ini Nabi menjawab “Tuhanku menahanku untuk tidak menyalahi kesepakatan yang telah ku buat, denganYahudi tersebut atau dengan orang lain.” Ketika beberapa hari berlalu, Yahudi itu lalu berkata, “Saya bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan engkau adalah Rasulullah; separuh kekayaan saya akan saya belanjakan di jalan Allah. Saya bersumpah, tujuan saya memperlakukan engkau seperti ini semata-mata untuk memastikan gambaran tentang engkau yang telah diungkapkan dalam Taurat: “Muhammad Ibn Abdullah, yang bertanah kelahiran di kota Makkah, yang hijrah ke Taiba, dan yang memiliki kerajaan di Syiria; ia tidak bersifat kasar, keras, atau suka berteriak di jalan-jalan, dan tidak dikenali karena kekasaran atau pembicaraannya yang tidak senonoh. Saya bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, dan saya bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah. Berikanlah keputusan tentang harta saya ini menurut apa yang Allah telah perlihatkan padamu.” Orang-orang Yahudi itu sangat kaya (Baihaqi dalam Dalail an-Nubuwwah).
Muhammad pernah membeli seekor unta, kemudian datanglah penjualnya dan meminta uangnya dengan kata-kata yang sangat kasar. Para sahabat Nabi menangkapnya, tetapi ia berkata, “Biarkan ia, sebab si pemegang hak berhak untuk berbicara.” Pernah, pada suatu hari, Nabi membeli sesuatu tetapi tidak mempunyai uang untuk membayarnya. Kemudian Nabi menjualnya supaya mendapat keuntungan dan membelanjakan keuntungan tersebut untuk pada janda dari Bani Muttalib dan mengatakan, “Nanti saya tidak akan membeli sesuatu sampai saya memiliki uang untuk membayar harganya” (Abu Dawud)
Suatu ketika datang seorang kreditor Nabi, dan memperlakukan Nabi dengan sangat kasar dalam menagih uangnya. “Umar ingin menangkapnya, tapi Nabi mengatakan, “Umar, hentikan, aku lebih suka agar engkau menyuruhku untuk membayar hutang tersebut-karena ia lebih membutuhkan-dari pada engkau menyuruhnya untuk bersabar” (Zad al-Ma’ad).[11]
Bisnis sebenarnya bisa menjadi jalan persaudaraan. Bisnis buat seorang bergerak dinamis sehingga bisa menebar jaringan perkenalan, bahkan persaudaraan. Kompetitor bisnis bukanlah musuh yang harus dibinasakan, melainkan teman-teman yang harus digandeng untuk membangun kekuatan bersama.[12]


                                               
D.    Penutup
Muhammad dilahirkan dari Bani Quraisy. Keluarga beliau adalah pedagang. Hampir seluruh orang Arab Makkah ketika itu bekerja sebagai pedagang, karena bermata pencaharian dari bertani sangatlah sulit saat itu, mengingat kondisi alam yang tandus, berbatu-batu dan kering. Muhammad adalah kaum Arab Musta‟ribah yaitu kaum Arab yang berasal dari keturunan Nabi Ismail, mereka dinamakan juga Arab Adnaniyyah. Ismail dikaruniai 12 orang anak yang semuanya laki-laki. Mereka membentuk ke 12 kabilah yang semuanya tinggal di Mekkah dan mata pencaharian mereka adalah berdagang.
Muhammad untuk memasuki dunia bisnis dengan cara menjalankan modal orang lain, baik dengan upah maupun berdasarkan persetujuan bagi hasil sebagai mitra. Khadijah adalah salah seorang dari banyak wanita kaya di Makkah yang menjalankan bisnisnya melalui agen-agen berdasarkan berbagai jenis kontrak. Karena Muhammad sejak kecilnya terkenal rajin dan percaya diri, ia memperoleh reputasi yang baik ketika dewasa. Ia dikenal karena kejujuran dan integritasnya.
Setelah menikah dengan Khadijah, Nabi tetap melangsungkan usaha perdagangannya seperti biasa, namun sekarang Nabi bertindak sebagai manajer sekaligus mitra dalam usaha istrinya. Sejak perkawinannya (dalam usia 25 tahun) hingga datangnya penggilan tugas kenabian (di usia 40 tahun), Nabi telah melakukan perjalanan dagang ke berbagai daerah Semenanjung Arab dan negeri-negeri perbatasanYaman, Bahrain, Irak, dan Syiria.





DAFTAR PUSTAKA



Bambang Trim, Business Wisdom Of Muhammad Saw. 44 Kedahsyatan Bisnis Ala Nabi Saw, (Bandung: PT Karya Kita, 2008).

Juhanis, Filosofi Wirausaha Nabi Muhammad, Jurnal: Sulesana Volume 8 Nomor 1 Tahun 2013.

Muhammad, Etika Bisnis Islami, (Yogyakarta: UPP-AMP YKPN Yogyakarta, 2004).

Novi Indriyani Sitepu, Prilaku Bisnis Muhammad SAW Sebagai Entrepreneur Dalam Filsafat Ekonomi Islam, HUMAN FALAH: Volume 3. No. 1 Januari – Juni 2016.





[1] Lica miana,
[2] Nahdatul Aysah, Prilaku Bisnis Muhammad SAW Sebagai Entrepreneur Dalam Filsafat Ekonomi Islam, HUMAN FALAH: Volume 3. No. 1 Januari – Juni 2016, h. 19
[3] Muhammad, Etika Bisnis Islami, (Yogyakarta: UPP-AMP YKPN Yogyakarta, 2004), h. xii
[4] Muhammad, Etika Bisnis Islami, (Yogyakarta: UPP-AMP YKPN Yogyakarta, 2004), h. xiii
[5] Bambang Trim, Business Wisdom Of Muhammad Saw. 44 Kedahsyatan Bisnis Ala Nabi Saw, (Bandung: PT Karya Kita, 2008) h. 2
[6] Muhammad, Etika Bisnis Islami, (Yogyakarta: UPP-AMP YKPN Yogyakarta, 2004), h. xiii
[7] Muhammad, Etika Bisnis Islami, (Yogyakarta: UPP-AMP YKPN Yogyakarta, 2004), h. Xiii-xv
[8] Juhanis, Filosofi Wirausaha Nabi Muhammad, Jurnal: Sulesana Volume 8 Nomor 1 Tahun 2013, h.  41
[9] Bambang Trim, Business Wisdom Of Muhammad Saw. 44 Kedahsyatan Bisnis Ala Nabi Saw, (Bandung: PT Karya Kita, 2008) h. 4
[10] Muhammad, Etika Bisnis Islami, (Yogyakarta: UPP-AMP YKPN Yogyakarta, 2004), h. xv
[11] Muhammad, Etika Bisnis Islami, (Yogyakarta: UPP-AMP YKPN Yogyakarta, 2004), h. xvi-xviii
[12] Bambang Trim, Business Wisdom Of Muhammad Saw. 44 Kedahsyatan Bisnis Ala Nabi Saw, (Bandung: PT Karya Kita, 2008) h. 8

Komentar

Postingan Populer